Mengingat semua yang dikatakan orang-orang terdekatnya, Fano jadi kembali memikirkan tentang pernikahan ayahnya.
Haruskah ia menyetujuinya?
Padahal ia belum pernah bertemu dengan wanita itu. Ia belum bisa menilai apakah wanita itu benar-benar baik untuk ayahnya atau tidak. Setidaknya mereka harus bertemu jika ingin mendapat ijin dari Fano.
"Kha," panggil Fano.
Arkha yang saat itu baru tengah memasukkan bajunya ke dalam lemari baju Fano menoleh. "Apa?"
"Lo setuju sama rencana Ayah nikah lagi?"
Arkha mengangguk. "Niat Ayah kan baik. Nikah itu ibadah. Nggak baik pacaran terus-terusan tanpa kepastian kayak gitu. Kalau Ayah bahagia, kenapa enggak?"
"Jadi gue harus rela gitu?"
"Ya tergantung, lo mau jadi anak yang baik apa nggak. Kalau lo terlalu lama diemin Ayah kek gini, gue rasa itu udah nggak baik."
Fano mengangguk. "Oke. Kalau gitu gue harus ketemu perempuan itu dulu sebelum menyetujui pernikahan mereka."
Ucapan Fano itu langsung saja membuat Arkha terkejut. Tapi setidaknya ia bersyukur karena adiknya mau berpikir lebih jauh. Tidak lagi bersikap egois seperti sebelumnya. Sepertinya Fano telah menyadari apa yang menjadi keinginan ayahnya saat ini.
"Oke. Gue bilang ke Ayah nanti."
Fano menggeleng. "Nggak. Biar gue aja yang bilang."
Yang Fano harapkan saat ini hanyalah semoga pilihannya tepat. Semoga apa yang ia putuskan malam ini tepat tak hanya untuk Darel, tapi untuk semua pihak juga.
☘☘☘
Jam makan malam seperti biasanya. Ketiganya berkumpul tanpa banyak bicara seperti sebelumnya. Fano memakan makanannya dalam diam sambil mencoba merangkai kata agar berani berbicara dengan ayahnya setelah dua hari ia mogok bicara pada pria itu. Sedangkan Darel di depan Fano hanya bisa diam, wanitanya terus saja meminta kepastian. Sedangkan ia belum bisa memutuskan apa pun tanpa restu dari Fano.
"Yah," panggil Fano.
Darel yang mendengar namanya dipanggil sontak menoleh dan menatap Arkha dengan raut bingung. Sedangkan Arkha hanya diam saja karena memang bukan ia yang memanggil Darel.
"Fano yang manggil, Yah. Bukan Arkha."
Tentu saja Darel terkejut. Dua hari anak bungsunya itu enggan berbicara. Bahkan tak bisa lama-lama berhadapan dengannya. Tapi tiba-tiba memanggil seperti ini. Ada apa? Apa Fano sudah memutuskan sesuatu? Merestui hubungannya atau tidak? Jantung Darel berdegub kencang. Ia takut, sungguh. Darel tak bisa dihadapkan dengan dua pilihan yang sama-sama sulit untuknya. Ia tidak bisa melepas salah satu dari mereka ataupun memilih antara ank dan wanitanya. Ini berat.
"Fano mau ketemu calon Ayah."
Darel diam saja saat Fano mengutarakan maksudnya. Calon? Apa Fano ingin bertemu wanitanya? Sungguh, demi apa? Ini sebuah kemajuan yang pesat. Entah siapa yang berhasil menyakinkan Fano hingga ia memutuskan akan bertemu wanitanya, Darel bersyukur setidaknya ia masih punya harapan.
"Besok akan Ayah atur jadwalnya. Terima kasih, Nak. Terima kasih kesempatannya. Ayah nggak akan sia-siakan ini." Fano bangkit dari duduknya kemudian menghampiri Darel. Memberi lelaki itu sebuah pelukan singkat.
"Maafin Fano kalau kemaren Fano egois, Yah. Semua keputusan Fano akan bergantung pada sikap pacar Ayah saat kita ketemu nanti."
Arkha yang melihat hubungan Ayah dan adiknya membaik. Setidaknya kehadirannya memberi manfaat untuk keduanya. Suara Arkha memang tidaklah sepenting Fano untuk keputusan sang ayah ke depan. Tapi setidaknya, Arkha pernah menjadi saksi masa-masa bahagia dan sulit mereka. Ia tahu pasti, ini keputusan yang sulit bagi keduanya.
![](https://img.wattpad.com/cover/213841941-288-k621106.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Deofano (END)
JugendliteraturFano belum pernah merasakan hebatnya kehilangan, sebelumnya. Hidupnya terasa sempurna beberapa tahun yang lalu. Ayah yang hangat, ibu yang perhatian, saudara kembar menyebalkan namun ia sayang. Semuanya terasa sempurna. Sebelum badai itu datang. Me...