Cukup lama Arkha memerhatikan Fano yang tetap dalam posisi yang sama. Pada akhirnya, Arkha memilih masuk. Mengalihkan perhatian Fano. Cowok itu tersenyum sambil membawa sebuah nampan berisi makanan untuk adiknya. Berpura-pura seolah ia baru saja datang dan tak mengetahui apa yang Fano lakukan. Meskipun sebenarnya Arkha juga tak tahu pasti apa yang sedang cowok itu pikirkan, tapi ia yakin bundalah alasan di balik diamnya tadi.
"Dari tadi bangunnya?" Arkha bertanya sesaat setelah menaruh tampan itu di atas meja.
"Lumayan."
"Gimana? Udah enakan? Perlu ke dokter?"
Tanpa bertanya sebenarnya Arkha tahu apa jawaban Fano. Saudaranya pasti mengatakan tidak.
"Udah. Nggak usah ke dokter."
"Apa susahnya, sih? Lagian cuma ke dokter. Periksa, dikasih obat, selesai."
Fano tetap menggeleng.
Arkha menghela napas panjang. Benar kata sang ayah, membujuk Fano merupakan hal yang sulit. Mungkin ia bisa membujuknya lagi saat Fano kembali demam. Semoga saja tidak. Mengingat betapa paniknya mereka tadi, Arkha tak ingin sesuatu yang lebih parah kembali terjadi.
Cowok itu kemudian meraba kening Fano. Memastikan bahwa demamnya sudah turun. Dan benar, suhu tubuh Fano berangsur turun. Keningnya mulai dingin, tidak sepanas tadi. Kali ini Fano berhasil meyakinkannya bahwa ia memang sudah lebih baik. Arkha tak ingin memaksa kehendaknya lagi.
"Ya udah, makan dulu. Mau gue suapin apa gimana?" Fano menggeleng. Memilih makan sendiri.
Arkha terkekeh saat Fano menjawab dengan cepat. Seolah tak ingin membiarkan Arkha kembali menyuapinya. Melihat adiknya seperti itu, Arkha bersyukur. Setidaknya kondisinya terlihat jauh lebih baik dari yang tadi. Dan semoga saja terus membaik. Mereka tak punya waktu banyak. Karena Arkha yakin Dera tak akan membiarkannya berlama-lama di sini. Cukup sampai liburan selesai. Meskipun sebenarnya Arkha ingin di sini lebih lama, diperbolehkan bunda pergi saja sudah cukup. Arkha tahu diri untuk tidak membuat hubungannya dengan bunda merenggang.
"Tadi handphone lo bunyi, gue angkat kayaknya dari cewek lo." Fano menghentikan suapannya saat mendengar ucapan Arkha.
Fano baru ingat, sejak Arkha tiba ia sama sekali tidak membuka ponselnya. Kedatangan Arkha yang mengejutkan mengalihkan seluruh perhatiannya. Ia juga lupa belum mengabari Affra sama sekali. Tentang kedatangan Arkha juga sakitnya. Sesegera mungkin Fano menghabiskan makanannya lalu meminum obat setelahnya. Arkha bahkan sampai terkekeh melihat sang adik yang kelabakan gara-gara lupa memberi pesan pada gadisnya.
"Makannya pelan-pelan aja. Nggak usah buru-buru kayak gitu. Pacar lo nggak mungkin hilang, kok. Tenang aja." Digoda seperti itu malah membuat Fano semakin cepat mencoba menghabiskan makanannya.
Arkha tertawa. Seperti yang telah ia bilang, Arkha suka sekali menggoda Fano. Mengganggu cowok itu, membuatnya kesal. Rasanya menyenangkan melihat wajah Fano yang pucat sedikit merona. Lebih baik dibanding melihatnya tak berdaya seperti tadi.
Setelah menghabiskan makanan dan meminum obatnya, Arkha segera pergi membawa nampan berisi piring kotor itu. Tak ingin kembali menganggu waktu adiknya. Ia pasti membutuhkan privasi yang tak bisa Arkha ganggu seenaknya. Arkha pun tahu diri. Oleh karena itu, ia memilih untuk keluar dan mungkin berkeliling rumah sebentar. Rumah yang mereka berdua tempati berbeda dengan rumah mereka yang dulu. Arkha mendengar cerita dari ayah bahwa mereka menjual rumahnya tak lama setelah bunda pergi. Dan membeli sebuah rumah yang lebih kecil jauh dari tempat mereka tinggal dulu.
Seolah menandakan bahwa ayah tak ingin mengingat semua kenangan mereka dan hari buruk itu. Tapi tak apa, setidaknya Darel dan Fano tak harus tersiksa karena mengingatnya. Apalagi bagi Fano kecil yang butuh waktu untuk mengerti semua yang telah terjadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Deofano (END)
Teen FictionFano belum pernah merasakan hebatnya kehilangan, sebelumnya. Hidupnya terasa sempurna beberapa tahun yang lalu. Ayah yang hangat, ibu yang perhatian, saudara kembar menyebalkan namun ia sayang. Semuanya terasa sempurna. Sebelum badai itu datang. Me...