Selang dua minggu kemudian, hari yang Darel tunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah hampir dua minggu penuh sibuk mengurus ini-itu dibantu oleh kedua anaknya, hari itu akhirnya datang.
Tepat hari ini, Darel resmi kembali menyandang status suami.
Dan tepat hari ini pula, Fano dan Arkha resmi memiliki ibu pengganti. Bukan mereka, lebih tepatnya Fano. Mengingat sebentar lagi Arkha akan kembali berkumpul bersama bunda.
Mengharukan rasanya melihat wajah bahagia terpatri pada dua anak adam itu. Fano bersyukur, setidaknya merasa Darel bahagia saat ini. Entah apa yang akan terjadi ke depannya, biarlah itu menjadi urusan takdir. Fano akan menjalani hidup sebagaimana mestinya. Ia tak akan menuntut banyak dan memilih menjalani apa yang semesta berikan untuknya.
Bukankah sebagai anak Fano hanya bisa mendukung keputusan ayahnya?
Itulah yang Fano lakukan sekarang. Melihat dari kejauhan dua anak manusia yang sedang berbahagia di sana. Fano enggan mendekat. Membiarkan sang ayah dan Nada menikmati waktunya bersama kawan-kawan dekat mereka.
Tak banyak orang yang Darel dan Nada undang. Jika dihitung, jumlahnya tak melebihi 20 orang. Banyak sanak saudara Nada yang juga datang. Fano tak ingin menganggu kebersamaan mereka. Ia memilih mengasingkan diri di dekat pintu sambil melihat wajah-wajah bahagia di sana.
Tentu saja Fano tidak sendiri. Ia berada di sana ditemani Arkha yang saat ini tengah mengambilkan minuman untuknya. Ada juga Affra bersama dia sahabatnya sedang mencicipi makanan ringan di sana.
"Bunda bilang, dia bakal pindah ke sini hari ini juga." Fano lantas menoleh saat Arkha tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Menyodorkan segelas minuman dingin di hadapannya.
"Lo udah cerita semalam."
"Tapi gue nggak tahu pasti di mananya. Jakarta kan luas, bisa aja setelah pindahan kita tetap jauhan. Padahal gue pengennya terus ada di sini. Sama kalian."
Fano menggeleng. "Dari awal, lo udah sama Bunda."
"Kalau boleh milih, dari awal perpisahan mereka, gue bakal milih tetep di sini."
"Kenapa? Bukannya hidup sama Bunda menyenangkan? Wanita itu lembut dan tahu bagaimana cara membesarkan seorang anak."
Arkha mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan. "Ya, lo bener. Bunda memang tahu bagaimana cara membesarkan anak, tapi nggak tahu gimana cara membuat seorang anak yang ia besarkan betah berada di rumah."
Fano langsung menegakkan badannya begitu mendengar ucapan Arkha barusan. Ia menoleh ke kanan, menatap saudara kembarnya dengan tampang bingung.
"Lo kaget, kan? Gue juga nggak pernah nyangka, tinggal bersama bunda nggak senyaman saat gue ada di sini."
"Kenapa?"
"Kenapa, ya?" Arkha berdeham. Menatap lurus dua pengantin baru di halaman belakang rumah mereka itu. "Gue ngerasa dikekang. Lo tahu kan, apa aja yang harus gue lakuin saat gue memutuskan untuk pergi ke sini?" Fano mengangguk.
"Gue harus ngelakuin semua itu, bahkan buat hal yang gue nggak suka. Belajar misalnya. Sedangkan di sini, Ayah nggak pernah menuntut lo ini-itu. Ayah membiarkan apa yang anaknya mau selagi itu tetap dalam batas. Dan gue suka itu. Gue pengen Bunda kayak Ayah. Nggak suka memaksa sesuatu, membiarkan anaknya melakukan apa yang mereka suka."
Fano terkekeh. "Lo merasa nggak nyaman di sana, sedangkan gue di sini selalu bertanya-tanya gimana rasanya punya Bunda. Gimana rasanya dirawat sama seorang Ibu. Jujur, gue udah lupa gimana rasanya." Nadanya seakan menyinggung Arkha, tapi Arkha tahu Fano sedang menyuarakan lukanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deofano (END)
Novela JuvenilFano belum pernah merasakan hebatnya kehilangan, sebelumnya. Hidupnya terasa sempurna beberapa tahun yang lalu. Ayah yang hangat, ibu yang perhatian, saudara kembar menyebalkan namun ia sayang. Semuanya terasa sempurna. Sebelum badai itu datang. Me...