Deofano :: Duapuluh Lima

3K 225 6
                                        

Tepat pukul tujuh malam, Fano sampai di depan rumah Affra yang ternyata langsung disambut oleh gadis itu. Senyumnya mengembang melihat penampilan Affra sekarang. Fano merasa Affra jauh terlihat lebih cantik saat memakai rok panjang dengan lengan panjang juga. Walaupun rambutnya tak tertutupi hijab, Fano tetap merasa Affra cantik dengan balutan baju model begitu.

"Ayo, masuk. Kita pamitan dulu." Saking terpesonanya Fano hanya diam saja memandangi Affra.

Fano menggaruk tengkuknya saat Affra menegornya.

Ini bukan kali pertama Fano mengunjungi rumah kekasihnya. Terhitung sudah tiga kali Fano mampir dan masuk ke rumahnya. Ibu Affra menyambutnya dengan baik saat itu. Jujur, Fano merasa gugup. Ia takut salah berucap saat berhadapan dengan ayah Affra. Ini kali pertama Fano berhadapan langsung dengan ayahnya.

"Santai aja. Ayah aku orangnya santuy, kok. Mirip Ayah kamu," bisik Affra saat menyadari Fano merasa gugup.

Fano melangkah perlahan di samping Affra yang terlihat riang. Gadis itu bahkan sedikit berteriak pada isi rumah. Mengatakan kalau Fano sudah sampai.

Tak lama kemudian, ibu Affra keluar dan langsung menyambutnya. Disusul sang ayah dan kakak Affra kemudian. Gugup Fano bertambah. Affra terkekeh di sampingnya. Gadis itu hendak tertawa saat melihat wajah puas Fano.

"Santai aja, nggak usah tegang kayak gitu." Kakak Affra menepuk bahu Fano. Cowok itu menghela napas, merasa sedikit lega.

Ia sungguh takut tidak diterima, bahkan diintimidasi. Macam sedang melamar anak gadis orang saja.

Mereka menyilakan Fano duduk. Fano duduk dengan gerakan kaku kentara sekali jika ia tengah tegang. Demi apa pun, Fano merasa gugup sekarang. Ia belum pernah berhadapan dengan keluarga Affra selengkap ini. Ia terbiasa bertemu ibu Affra namun tidak dua pria di sampingnya ini.

"Kamu nggak usah tegang. Kami nggak gigit, kok. Santai aja. Cuma mau ngobrol sedikit. Anak gadis saya sering banget bicarain kamu. Makanya saya penasaran, seperti apa sih, cowok yang bisa membuat anak saya seperti itu." Ayah Affra membuka suara.

Kedua sejoli itu serempak menunduk. Takut rona kemerahan di pipi mereka terlihat. Suasananya mendadak terasa lebih tegang.

"Saya cuma cowok biasa, Om. Nggak punya banyak kelebihan." Fano menjawab pelan.

Ayah Affra tertawa pelan. Senang melihat Fano seolah merendah seperti itu. "Saya tahu kamu dari cerita anak saya. Tenang aja, saya nggak bakal larang, asal kamu mau bertanggung jawab menjaga dan melindungi Affra selagi saya dan kakaknya nggak bisa selalu menjaga dia. Kamu mengerti?"

Fano mengangguk. "Demi apa pun, saya berusaha menjaga dan melindungi dia, Om. Bahkan kalau perlu dengan nyawa saya sendiri."

Semua yang ada di ruang tamu tertawa mendengar apa yang Fano katakan. Fano menatap Affra bingung. Ia sedang serius. Mengapa semuanya tertawa?

"Saya paham. Kalian masih muda. Gih, sana kalau mau berangkat. Jangan sampai terlalu malam. Sampaikan salam saya pada Ayah kamu."

Fano menghela napas lega. Akhirnya.

☘☘☘

"Jangan tegang gitu, ah. Mukamu tadi lucu banget. Pengen aku foto." Affra berbisik saat motor yang Fano kendarai mulai melaju.

"Kamu nggak tahu aja, aku hampir jantungan. Gugup banget. Takut juga."

"Kan, aku udah bilang. Ayah nggak jahat, kok. Dia mau paham dan mengerti." Fano mengangguk.

Tangan kiri Fano mendadak menggenggam tangan Affra yang tengah menggenggam erat kemejanya.

"Baju aku lusuh kalau kamu pegangin kayak gitu."

Deofano (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang