Deofano :: Duapuluh

3.2K 228 0
                                        

Seperti biasa, Fano masuk kelas setelah lebih dulu memerhatikan Affra sampai di kelas. Saat itu, bangkunya ditempati oleh Ori yang langsung heboh begitu pertama kali melihatnya.

"Apa kabar, bos? Sehat?"

Fano hanya mengangguk. Suasana hatinya tidak begitu baik untuk diajak mengobrol atau pun bercanda terlalu lama. Jadi yang ia lakukan hanyalah diam memerhatikan bagaimana dia sahabatnya ini tak bisa diam bahkan saat mereka sama-sama tengah bermain game. Seolah mereka tak mempunyai masalah dalam hidupnya. Fano jadi ingin hidup seperti mereka. Rasa-rasanya keluarganya begitu rumit untuk dipahami.

Mulai dari bunda yang meninggalkannya tanpa alasan yang Fano ketahui. Lalu sekarang ayahnya tiba-tiba mengatakan bahwa ia akan menikahi seorang wanita dalam waktu dekat.

Kejutan macam apa ini?

Fano bahkan hanya duduk diam ketika pertandingan antara kelasnya dan kakak kelas dimulai. Biasanya Fano ikut memeriahkan kendati hanya menabuh galon kosong. Tapi kali ini tidak. Fano hanya memerhatikan bagaimana teman sekelasnya bermain, termasuk Oji di dalamnya. Cowok itu memang atlet sepak bola sejak ia duduk di bangku SD. Sedangkan Ori, bakatnya lebih ke seni lukis. Fano? Ia hanya bisa bernyanyi dan bermain gitar. Itu saja.

Ori berteriak heboh saat Oji berhasil memasukkan bola ke gawang lawan, mencetak gol. Dan Fano hanya bisa menutup kuping, karena Ori berteriak tepat di sampingnya. Sepertinya Fano butuh udara segar setelah ini. Ia perlu menenangkan pikirannya dan mungkin berpikir lebih jauh ke depan. Tentang keputusannya. Sebelum itu Fano akan menceritakan hal ini kepada Affra, seperti janjinya semalam.

Setelah heboh menyambut kemenangan telak kelasnya, Fano izin keluar. Sebelumnya Fano juga ikut merayakan kesuksesan mereka dengan foto bersama satu kelas. Oji dan Ori mengiyakan saja karena Fano terlihat berbeda. Selain terlihat lebih kurus dan sedikit pucat, wajahnya juga selalu muram. Oji pikir mungkin Fano sedang ada masalah dan butuh hiburan. Tak perlu menanyakan apa pun karena ia tahu pasti, Fano akan menceritakannya nanti.

Dan di sinilah Fano sekarang. Berada di bawah pohon tabebuya di belakang kelas. Pohon tabebuya yang rindang mampu membuat Fano merasa nyaman bahkan hanya dengan duduk di bawahnya. Pikiran Fano menjadi lebih tenang, ia merasa lebih rileks sekarang. Affra datang lima menit setelahnya.

Gadis itu datang dengan tangan membawa sebuah plastik hitam yang bisa Fano tebak isinya adalah cemilan. Walaupun bertubuh kurus, Affra ini doyan sekali makan. Entah ke mana hilangnya lemak-lemak yang sering ia makan itu.

"Bawa apa?"

"Cemilanlah. Laper abis tanding."

Fano mengangguk. Sempat merasa bersalah karena tak bisa menonton kekasihnya bertanding. Padahal Affra berkali-kali bilang kalau ia tak masalah. Kelasnya juga sedang bertanding. Fano harus lebih mementingkan itu di banding ia tadi.

"Menang?"

"Menang. Tapi cuma juara tiga. Padahal tadi kurang dikit aja bisa juara satu."

"Nggak pa-pa. Yang penting udah berusaha."

Affra duduk di samping Fano kemudian. Meluruskan kakinya yang sejak tadi terasa pegal. Bahkan peluh masih menetes di dahinya. Mengingat baru lima belas menit yang lalu Affra selesai bertanding dan harus berlari lagi ke sini. Menghampiri Fano. Tidak, ia tidak akan mengatakan itu pada Fano. Cowok itu pasti akan merasa bersalah dan tak jadi menceritakan apa yang ingin ia ceritakan. Tipikal Fano yang selalu merasa tidak enak.

"Capek?" Affra mengangguk.

Menatap Fano dari samping kemudian. Sudah lama ia tidak menatap Fano seperti ini. Lebih tepatnya terlalu malu karena Fano sering kali memergokinya. Cowok itu terlihat lebih kurus dari yang terakhir kali ia lihat. Wajahnya juga lebih pucat kendati terlihat lebih segar.

"Kamu masih sakit? Lebih lesu dari tadi pagi kelihatannya."

Fano menggeleng. Affra sudah bertanya tentang hal yang sama sejak mereka berangkat bersama tadi.

"Jadi, kenapa masalahnya?"

Bukannya menjawab, Fano malah bangkit dari duduknya. Berjalan sedikit kemudian kembali mendudukkan tubuh. Menempel pada punggung ke kasihnya. Menyandarkannya di sana.

Affra sedikit menegang kemudian kembali menguasai tubuhnya. Tak terhitung berapa kali Fano menyukai posisi ini. Membuat punggung mereka saling bersandar satu sama lain.

"Ayah mau nikah lagi," katanya tiba-tiba.

Affra terkejut tentu saja. Tapi dengan cepat mengendalikan ekspresinya. Padahal Fano tak akan bisa melihatnya.

"Kamu nggak mau itu terjadi?"

"Enggak. Bukan begitu. Aku tahu, Ayah juga pasti butuh perhatian dari seseorang yang pastinya bukan aku. Aku tahu Ayah pasti butuh sandaran. Arkha bilang nggak mungkin selamanya Ayah ngurus aku sendirian. Tapi jujur, aku nggak siap untuk sekarang. Ini terlalu tiba-tiba."

Affra mengangguk. Mencoba mengerti posisi Fano. Ini memang nggak mudah buatnya. Nggak mudah bagi Fano yang terbiasa bersama ayahnya.

"Nggak pa-pa. Asalkan kamu tahu ini yang terbaik buat Ayahmu. Nggak pa-pa nggak sekarang."

Hanya itu yang bisa Affra sampaikan. Ia takut salah bicara yang berakhir membuat hubungannya merenggang. Ia hanya perlu ada di sisi Fano untuk menenangkan. Ada saat dibutuhkan. Membuat cowok itu tahu kalau ia ada bahkan saat semesta yang menginginkan kehadirannya.

"Agak nggak rela rasanya ternyata ada orang baru di hidup Ayah. Apa karena selama ini aku kurang memerhatikan Ayah dan semaunya aja? Maksudku hanya aku yang merasa kalau Ayah cuma punya aku?"

"Nggak. Aku yakin itu cuma perasaanmu aja. Ayah kamu berusaha memprioritaskan kamu di atas segalanya. Aku yakin itu. Kamu harus percaya Ayahmu pasti punya alasan di balik semua ini. Beliau pasti udah memikirkan segalanya. Termasuk ketidaksiapan kamu ini."

Diam. Hanya hening yang menyambut setelah Affra menyelesaikan kalimatnya. Meski begitu, dalam diam Fano membenarkan apa yang gadis itu katakan. Pasti ada alasan di balik Darel menyembunyikan hubungannya. Pria itu pasti telah memikirkan semua resikonya termasuk penolakannya. Tidak, Fano tidak ingin menolak keinginan ayahnya. Ia hanya merasa tidak siap menerima orang baru. Dan juga takut kalau orang baru itu ternyata sama saja dengan bunda. Datang lalu pergi seenaknya. Fano tidak ingin itu terjadi.

Dan yang bisa Fano lakukan sekarang hanyalah diam. Menyandarkan punggung serta kepalanya sepenuhnya pada Affra. Padahal punggung itu lebih kecil dari punggungnya. Tapi entah mengapa rasa lebih hangat. Fano bisa merasakan Affra tetap diam di tempat. Berusaha tidak bergerak demi membuatnya nyaman. Fano terdiam dengan senyum mengembang. Ia telah menemukan orang yang tepat, yang bisa mengisi seluruh kekosongan hatinya. Dan semoga hingga suatu saat.

Setidaknya sampai Fano meninggalkan dunia. Ia hanya ingin Affra yang menjadi mendampingnya. Bilang saja jika Fano terlalu jauh berpikir, tapi itulah yang ia harapkan. Berharap bahwa Affra akan menjadi pertama dan terakhir baginya.

Dan semoga saja Affra juga. Sehingga ia bisa berdoa dalam hening malam. Meminta Affra benar-benar menjadi pelabuhan terakhirnya.

"Terima kasih."

A/N

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

A/N

Nikmati kebucinan Fano aja dulu. Wkwkwk. Kayaknya ini novel bakal panjang atau mungkin dibuat sequel aja, ya?

14*05*20

Deofano (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang