Deofano :: Duapuluh Empat

3.1K 234 9
                                    

"Alasan Bunda sama Ayah cerai itu apa?"

Darel terdiam cukup lama begitu mendengar pertanyaan itu dari anak-anak. Setelah sekian lama mereka bungkam, akhirnya pertanyaan itu muncul juga. Darel sudah menyadari hal ini, lambat laun mereka pasti bertanya-tanya. Mengapa mereka berpisah? Mengapa bunda pergi begitu jauh? Mengapa Arkha menghilang cukup lama. Darel paham. Mereka bukan anak-anak lagi. Mereka telah tumbuh dewasa. Pasti menginginkan jawaban dari kejadian yang membuat mereka bingung bertahun-tahun lalu.

Tapi sungguh, Darel tidak bisa menjawabnya. Bukan hanya tentang siapa yang salah atau siapa yang benar di sini. Karena ia sendiri pun sebenarnya bingung. Bukan tak tahu, hanya saja bingung mengapa Dera memilih pergi meninggalkannya setelah ia mengetahui semua yang wanita itu perbuat?

Tidak. Darel tidak akan mengutarakan itu sekarang. Yang harus menjawab pertanyaan mereka adalah Dera. Wanita itu yang memulai semua. Dan sudah seharusnya wanita itu juga yang bertanggung jawab mengatasi keingintahuan anak-anak mereka.

Darel menatap dua anaknya bergantian. Tak menyangka jika waktu berubah secepat itu. Baru kemarin rasa mereka berdua bahagia karena akan dikaruniai dua orang putra sekaligus. Baru kemarin juga rasanya badai itu datang, mengacaukan semua. Baru kemarin Fano kecil yang suka sekali menangis meminta bunda dan kakaknya kembali. Kini mereka sudah dewasa. Meskipun Fano berubah menjadi anak yang jauh lebih pendiam, Darel tetap bersyukur. Setidaknya anak itu selalu mengerti dalam diamnya.

Arkha dan Fano yang melihat ayahnya hanya diam saja, merasa gusar di tempat. Apa pertanyaan mereka begitu sulit sehingga untuk menjawabnya saja susah bagi Darel? Padahal seharusnya mereka mempertanyakan hal itu jauh-jauh hari atau bahkan di hari pertama badai itu mengguncang hidup mereka.

"Yah." Arkha menyadarkan Darel. "Kalau memang terlalu susah buat Ayah jawab, nggak pa-pa. Kita bisa tanya itu nanti, kalau Ayah sudah siap. Tapi satu hal yang perlu Ayah tahu. Kami, tetap menuntut sebuah jawaban. Sesakit apa pun kenyataannya nanti."

Arkha membuang muka sesaat setelah mengatakannya. Ia tidak marah. Arkha merasa mereka tetap harus mendapatkan jawabannya. Entah kapan Darel atau Dera akan memberitahu mereka, mereka akan tetap menuntut jawaban.

"Tentang itu, jujur Ayah nggak bisa jawab. Karena yang berhak menjawab di sini hanya Bunda kalian."

Mengapa harus bunda?

Satu pertanyaan lain muncul di benak masing-masing dari mereka. Mengapa harus Dera? Apa wanita itu penyebab semua kekacauan yang terjadi di keluarga ini? Atau justru Darel sedang bermain perannya di sini. Menjadi pihak yang tersakiti.

Baik Fano maupun Arkha tak bisa menuntut lebih. Jika Darel berkata demikian, selamanya mereka tak akan pernah mendapat jawaban. Satu-satunya jawaban yang mereka inginkan hanya dari Dera. Dan mungkin Arkha bisa mengatasinya. Mudah saja membuat wanita itu jujur. Meski dengan sedikit ancaman. Arkha sebenarnya tidak ingin bersikap seperti itu. Tapi Dera memang perlu sedikit ancaman supaya sisi egois dalam dirinya mencair perlahan. Arkha akui itu, bundanya adalah wanita yang begitu egois.

"Kalau masalah Bunda, biar gue yang urus." Arkha berbisik pada Fano. Cowok itu mengangguk. Setuju-setuju saja karena memang Arkhalah yang paling dekat dengan Bunda selama ini.

"Maafin Ayah. Kalian boleh berpikir kalau Ayah egois sekarang. Tapi memang satu-satunya orang yang berhak menjelaskan semuanya adalah Bunda kalian. Ayah harap kalian mengerti."

Fano dan Arkha mengangguk serempak. "Kami paham, Yah."

Darel memutuskan mengalihkan perhatian. Bukan saatnya mereka terus membahasa masalah ini terlalu lama. Akan ada saatnya nanti, Dera menjelaskan semuanya. Wanita itu berjanji sebelum pergi meninggalkannya. Mau bagaimana lagi? Dare dicampakkan saat itu. Dan kini, ia telah menemukan pengganti yang menurutnya jauh lebih baik dan semoga memang benar.

"Jadi gimana, No?"

Arkha menatap Darel heran beberapa saat. Belum mengerti apa yang akan ayahnya bahas. Satu detik kemudian senyum terbit di dua sudut bibirnya. Arkha tersenyum mengejek.

"Ayah kebelet banget, sih." Arkha dan Darel tertawa. Fano hanya senyum-senyum saja.

Ia sudah memutuskan sekarang. Nada terlihat baik dan semoga memang benar baik. Wanita itu menerima segala kekurangan Darel dan juga anak-anaknya. Bahkan paham hal-hal yang Fano suka karena Darel sering menceritakannya dan wanita itu tak masalah. Nada bilang sebelum pulang tadi, bahwa Fano juga telah ia anggap anaknya.

Bolehkah Fano berharap tinggi saat ini? Ia berharap Nada benar-benar menggantikan sosok Dera yang sudah lama menghilang dari hidupnya. Bolehkah?

"Kalau Ayah bahagia dengan pilihan Ayah, Fano setuju. Dan kalau memang Ayah serius, tolong jangan berpisah lagi."

Mendengar jawaban dari Fano sontak membuat lelaki itu memeluknya erat. Tentu saja Darel tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang Fano beri untuknya. Ia akan berusaha sebisa mungkin menjaga apa yang saat ini ia punya. Bukankah tugas seorang kepala rumah tangga juga itu? Ia mungkin pernah gagal di masa lalu. Masa itu adalah masa penuh pembelajaran untuknya. Ia akan benar-benar bertanggung jawab dan menjaga apa yang harus ia jaga mulai dari sekarang.

"Terima kasih, Nak."

"Ayah kalau nikah lagi nggak usah pake resepsi. Udah tua, malu sama tamu undangan." Darel tertawa sembari menjitak pelan puncak kepala si sulung.

Ia merasa bahagia sekarang. Kebahagiannya seolah lengkap.

☘☘☘

Sore tadi, Darel menyuruh Fano mengajak teman-teman serta kekasihnya datang ke rumah. Malam ini, mereka akan mengadakan pesta kecil-kecilan di halaman belakang rumah. Sekalian Darel meminta mereka untuk membantu mengurusi acara pernikahannya yang jika tidak akan ditunda akan dilaksanakan dua minggu lagi.

Fano setuju-setuju saja dengan rencana Darel. Lebih cepat lebih baik. Lagi pula mereka sudah cukup umur. Tak ada pesta besar-besaran, apalagi resepsi. Mereka hanya akan mengadakan acara akad dan kumpul-kumpul keluarga saja. Berhubung Darel tidak memiliki saudara dan orang tuanya sudah meninggal, ia meminta teman-teman Fano ikut membantu merencanakan. Pasti menyenangkan bergabung bersama anak-anak muda. Darel merasa seperti muda kembali.

Sesaat setelah Darel memberitahu rencananya, Fano segera menghubungi Oji dan Ori. Dua cowok itu bahkan datang sebelum matahari tenggelam. Dua jam lebih cepat dari yang mereka janjikan. Sedangkan Fano harus siap-siap menjemput Affra sebentar lagi.

"Inget, No. Anak orang jangan kemaleman bawanya. Maksimal jam sembilan." Baik Arkha maupun Oji dan Ori mengejek Fano sejak Fano keluar dari kamar mandi.

"Sirik aja lo pada. Makanya cari pacar."

Arkha melempar bantal sofa pada Fano yang masih sibuk dengan ponselnya. "Songong banget lo, ya."

"Songong selagi masih bisa," balas Fano tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.

"Anjir. Lo belajar ginian dari mana, No? Pasti dari kembaran lo ini, ya, kan?"

"Enak aja. Gue nggak pernah ngajarin dia yang nggak-nggak."

"Kalau yang nggak-nggak, berarti yang iya-iya? Wah, parah. Gue bilangin Om, nih?"

Mereka semua tertawa kecuali Arkha yang wajahnya masam saat ini. Entah mengapa ia merasa sangat nyaman berada di sini. Di tengah-tengah mereka. Kalau begini adanya Arkha tak ingin pulang.

A/N

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

A/N

Beberapa bab lagi tamat. Endingnya bagaimana, pasti sudah bisa kalian tebak.

18*05*20

Deofano (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang