Fano belum pernah merasakan hebatnya kehilangan, sebelumnya. Hidupnya terasa sempurna beberapa tahun yang lalu. Ayah yang hangat, ibu yang perhatian, saudara kembar menyebalkan namun ia sayang. Semuanya terasa sempurna.
Sebelum badai itu datang. Me...
Fano kembali tidur sesaat setelah memakan bubur dan meminum obatnya. Arkha kembali berjaga setelah sang ayah pamit hendak bekerja. Meskipun hanya bekerja di rumah, pria itu tetap harus menjalankan kewajibannya.
Yang Arkha lakukan saat ini tak banyak. Ia duduk di sofa tempat Fano biasa memainkan gitarnya, sambil sesekali menengok apakah Fano terjaga atau tidak. Kendati panasnya menurun, tetap saja tidur adiknya itu terlihat gelisah.
Sebuah notifikasi pesan mengalihkan perhatian Arkha. Cowok itu segera mengambil ponselnya, mengecek dari siapakah pesan tadi.
Bunda❤: Arkha sudah sampai, kan? Maaf Bunda baru wa Arkha. Semalam Bunda ketiduran. Capek banget.
DeofinoArkha: Arkha udah sampe kemarin agak siang, Bun. Bunda jangan terlalu banyak beraktivitas.
Bunda❤: Syukur kalau gitu. Perginya jangan lama-lama, ya, Kha. Baru sehari tapi Bunda udah kangen kamu.
DeofinoArkha: Arkha masih mau di sini, Bun. Fano lagi sakit. Jadi nggak bisa jalan-jalan.
Lama. Pesan terakhir yang ia kirimkan tak kunjung mendapat balasan. Arkha menghela napasnya panjang. Bahkan Dera hanya membaca pesannya setelah sekian menit dibiarkan begitu saja.
Sama seperti sebelum-sebelumnya. Arkha masih tak mengerti mengapa Dera bersikap seperti ini. Pertama, membenci ayahnya sampai-sampai melarang pria itu mengetahui di mana keberadaannya selama bertahun-tahun. Kedua, tidak ingin, tidak akan dan tidak pernah menanyakan keberadaan Fano padahal cowok itu juga darah dagingnya. Wajahnya pun sama persis dengan dirinya. Dan yang ketiga, Arkha masih tak mengetahui penyebab mereka berpisah. Apa ayahnya selingkuh? Kemungkinan besar jawabannya iya, kendati sebenarnya Arkha tak mengetahui pasti apa jawabannya.
Arkha memilih mengabaikan berbagai pertanyaan di benaknya. Saat ini ia harus fokus mengurus Fano sampai adiknya itu mau berobat. Kondisinya masih tetap tak bisa dibilang baik. Apalagi setelah tadi pagi mimisannya cukup lama. Tentu saja ini mengkhawatirkan. Setidaknya bagi Arkha yang baru bertemu dan bersama mereka.
Karena sekian lama kamar itu dilanda keheningan, Arkha memutuskan untuk mencari hiburan. Melihat Fano yang masih tenang dalam tidurnya, Arkha memberanikan diri keluar. Membiarkan Fano sendiri.
Mungkin berjalan di sekitar rumah ayahnya membuat pikirannya sedikit lebih jernih sehingga bisa fokus mengurus Fano dengan baik.
☘☘☘
Badan Fano seakan remuk rasanya. Cowok itu bahkan tidak tahu berapa lama ia tertidur. Tidurnya kali ini cukup lelap. Mungkin efek kelelahan karena kurang tidur plus karena badannya yang sakit. Fano tak tahu. Matanya mengerjab perlahan, menyesuaikan cahaya terang dari lampu kamar.
Apakah hari sudah sore?
Fano tak tahu jawabannya sebelum melihat jam di ponsel. Di kamarnya memang tak memiliki jam dinding, selama ini ia hanya mengandalkan jam di ponsel pintarnya saja. Fano cukup terkejut saat melihat jam menunjukkan pukul satu siang. Seingatnya, ia makan dan meminum obatnya saat pukul tujuh pagi tadi.
Apa ia sudah menjadi pangeran tidur?
Lelap sekali tidurnya hingga tak sadar telah tertidur selama enam jam. Arkha tak tahu ada di mana. Saat terbangun, Fano mendapati hanya ia yang ada di dalam kamar. Arkha juga tak membangunkannya. Jadilah yang Fano lakukan hanya diam menatap langit-langit kamar.
Sudah cukup lama ia merasa ada yang tak beres dengan tubuhnya. Mudah merasa lelah, nafsu makan menurun, badannya kadang tiba-tiba lebam dan beberapa kali mengalami mimisan. Fano memilih jujur sekarang. Mimisan tadi, bukan kali pertama ia alami. Mungkin ada sekitar tiga atau empat kali dalam kurun waktu tiga bulan. Hanya saja Fano tak berani memberitahunya pada sang ayah. Ia takut pria itu merasa khawatir bahkan panik segera membawanya ke rumah sakit. Fano sedikit menyadari, sakitnya ini bukan sakit biasa dan ia merasa takut untuk pergi ke rumah sakit, mengecek kesehatannya.
Fano takut dan tak ingin membuat ayahnya khawatir.
Untunglah saat ini ia merasa cukup baikan. Meskipun badannya terasa lemas, kepalanya pening dan tubuhnya seperti remuk karena mungkin terlalu banyak tidur, setidaknya ia merasa lebih baik dari tadi pagi.
Saat sakit seperti ini, Fano terkadang memikirkan seseorang. Siapa lagi kalau bukan Dera, bundanya. Wanita yang pernah melahirkannya itu tak pernah sekalipun menanyakan kabarnya setelah perpisahan mereka. Bahkan saat Arkha mulai menghubungi mereka, tak sekali pun bunda mau berbicara padanya. Seolah apa yang terjadi di antara mereka juga merupakan salahnya.
Selama 10 tahun hidup tanpa Dera, Fano mulai terbiasa. Saat sakit, ada ayah yang merawatnya. Saat merasa lelah, ada ayah yang bersedia menghiburnya. Kendati demikian sosok bunda tetaplah menjadi sosok yang ia rindukan. Meskipun Fano jarang sekali membicarakan wanita itu, baik di hadapan ayah, sahabat-sahabatnya maupun Affra. Fano tetap merindukannya.
Sebagaimana seorang anak yang merindukan ibunya.
Fano sama seperti anak di luar sana. Yang terkadang merindukan ibu mereka saat jauh dan tak terjangkau di mata. Hanya saja, Fano jarang mengutarakan rindunya. Bahkan saat Arkha berkata apakah ia akan menitip salam pada bunda, Fano hanya diam saja.
Tidak. Fano tidak membenci Dera. Sekali pun tidak pernah. Ia sadar, mungkin ada sesuatu yang salah di antara mereka sehingga bunda memilih untuk tidak lagi berhubungan dengannya. Fano berusaha paham, mungkin luka yang bunda terima jauh lebih besar dari luka mereka. Oleh karena itu, Fano hanya bisa diam.
Ia masih bersyukur. Setidaknya wanita itu hidup baik-baik saja dan bahagia bersama kehidupan barunya. Apalagi setelah mendengar dari Arkha bahwa mereka akan memiliki saudara tiri dalam waktu dekat, tak bisa dipungkiri Fano ikut merasa bahagia. Tak apa meski bunda membencinya, tak apa meski bunda tak lagi mau perhatian dengannya, asal Dera bahagia. Fano juga sudah cukup bahagia dan bersyukur dengan apa yang ia punya sekarang.
Ayah, Arkha, Ori, Oji dan Affra adalah kebahagiaannya sekarang. Fano tak boleh serakah dengan menginginkan bunda adalah bahagianya juga.
Fano hanya menginginkan kebahagiaan bundanya, meski tanpa ia dan ayahnya. Itu saja.
☘☘☘
Arkha terdiam saat tak sengaja melihat Fano tengah menatap langit-langit kamarnya. Ia tak ingin menganggu sejenak. Padahal tangannya penuh dengan nampan berisi makan siang saudara kembarnya itu. Namun saat melihat Fano seperti itu dengan tatapan sendu, Arkha seakan tahu apa yang adiknya rasa.
Saudara kembarnya itu pasti merindukan bunda.
Kendati tak pernah mengatakan bahwa ia merindukannya, Arkha bisa merasakan kerinduan yang terpendam dalam pancaran matanya. Arkha tak mengerti tapi seakan paham bahwa itu mengatakan bahwa Fano tengah merindu.
Apa yang telah terjadi, tak ada hubungannya dengan Fano. Harusnya begitu. Cowok itu tak boleh merasa dibenci bunda. Mereka sama. Dan Arkha tak bisa membiarkan saudara kembarnya terluka lebih lama.
Oleh karenanya Arkha selalu berusaha membuat bunda ingat bahwa ia memiliki saudara. Arkha bahkan sering menyebut nama Fano saat mereka bersama. Berharap bunda sadar, ada satu anaknya yang juga butuh diperhatikan.
Semoga suatu saat usahanya berhasil membuat mereka bersama. Layaknya hubungan anak dan ibu normal lainnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.