Lupakan masalah semalam, kini saat kembali beraktivitas seperti biasa. Fano kembali seperti bagaimana ia biasanya. Berusaha untuk tidak terlihat murung atau apapun. Ia tak ingin apa yang ia rasakan semalam membuat ayahnya bertanya-tanya. Sebisa mungkin Fano mencoba untuk tidak menyinggung apapun tentang Bunda. Ya, apa pun.
Seperti biasa, sang ayah kembali berkutat dengan kompor. Kali ini menu mereka sederhana. Hanya telur dadar dengan toping kecap. Menu favorit sang ayah setelah bakso dan mie ayam. Fano segera menyantap makanannya. Kendati akhir-akhir ini porsi makannya lebih sedikit, Fano berusaha untuk tetap terlihat bersemangat di depan ayahnya.
"Kamu berangkat duluan aja, nggak pa-pa. Ayah masih ada urusan. Ke rumah Bu Nada dulu, ambil beberapa dokumen," kata Darel setelah menyelesaikan makanannya.
"Pacar ayah?" Pertanyaan tiba-tiba yang datang dari Fano membuat Darel yang tengah minum tersedak.
Bukan Fano menuduh ayahnya atau apa. Ia hanya merasa heran. Sepertinya, ini ketiga sang ayah menyebut nama itu di depannya dalam waktu kurang dari satu bulan. Fano sebenarnya tak masalah jika Darel berhubungan dengan rekan kerjanya itu. Hanya saja, Fano merasa takut. Ia takut sang ayah kembali terluka. Kendati sebenarnya ia tak tahu secara rinci masalah apa yang membuat kedua orang tuanya bercerai, Fano merasa Darel-lah yang selama ini banyak terluka. Ia tak ingin hal itu terjadi kembali. Jangan sampai.
"Kamu kok tiba-tiba nanya gitu?"
Fano menggeleng. "Bercanda."
Darel mengembuskan napasnya lega. "Kirain nuduh ayah."
Fano hanya mengendikkan bahunya. Tanpa banyak bicara, ia membawa piring-piring kotor itu, mencucinya.
Darel menghela napas, belum saatnya Fano mengetahui semua fakta yang ada.
☘☘☘
"Kenapa?" Fano bertanya pada Affra begitu sampai di sekolah.
Sedangkan Affra hanya bisa menaikkan alisnya, menatap Fano heran. Apanya yang kenapa?
Fano hanya merasa heran saja. Tidak biasanya Affra diam saja saat ia tiba di depan rumahnya. Tak biasanya gadis itu diam sepanjang jalanan. Pasti ada satu dua patah kata yang tak sengaja keluar dari bibirnya dan tak sengaja Fano dengar juga.
"Kenapa diem aja?"
Affra tersenyum, begitu manis. "Nggak ada apa-apa. Cuma males ngomong aja."
Fano memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut. Apalagi mendesak gadisnya untuk segera membeberkan semua yang mengganggu pikirannya. Fano akan membiarkan Affra, sampai akhirnya ia bercerita sendiri. Tak perlu paksaan yang akan berakhir tak mengenakkan.
Keduanya berjalan beriringan. Kali ini tanpa banyak kata. Hanya pertanyaan basa-basi yang Affra lontarkan. Seperti misalnya, jadwal bermain basketnya kapan? Atau bertanya apakah tugas Fano banyak? Hanya itu. Dan Fano hanya menjawab seadanya.
Seperti biasa, Fano menunggu gadisnya sampai dengan selamat ke dalam kelas. Yang tentu tanpa Affra tahu. Karena setelah mereka mengucapkan salam pisah, Affra tak akan berbalik menengok ke belakang. Fano pun menunggu di tempat yang cukup tersembunyi. Alasannya? Ia malu jika ketahuan memerhatikan Affra sejauh itu. Sama seperti malunya saat rasa itu pertama kali hadir. Saat di mana Fano benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukannya. Mengejar atau memendam?
Setelah memastikan Affra sampai di kelasnya, Fano kembali melangkah. Masih ada sisa waktu 10 menit sebelum bel berbunyi. Ia memutuskan untuk melangkah pelan, memerhatikan sekitar. Apa pun yang menarik perhatiannya. Dan tatapannya hanya berlabuh pada langit di atas sana. Tidak cerah, juga tidak gelap. Mendung. Mengundang angin sejuk di sekitarnya. Fano jadi ingat, Arkha suka sekali memandang langit. Apalagi waktu petir tanpa suara mewarnai langit.

KAMU SEDANG MEMBACA
Deofano (END)
Teen FictionFano belum pernah merasakan hebatnya kehilangan, sebelumnya. Hidupnya terasa sempurna beberapa tahun yang lalu. Ayah yang hangat, ibu yang perhatian, saudara kembar menyebalkan namun ia sayang. Semuanya terasa sempurna. Sebelum badai itu datang. Me...