"Kamu kok nggak ngasih tau ayah kalau Arkha mau ke sini?"
Fano terdiam dengan kepala menunduk ketika sang ayah melontarkan tanya dengan tatapan mengintimidasi.
"Takut nggak jadi."
"Apanya yang nggak jadi?"
"Ya, takut Arkha-nya yang nggak jadi ke sini. Ntar Ayah tambah marah."
Darel menghela napas. Kabar itu cukup mengejutkannya. Darel juga yakin sama terkejutnya dengan Fano ketika pertama kali Arkha memberitahunya. Fano pasti merasa tak yakin, takut Arkha hanya bercanda atau hanya akal-akalan anak itu saja. Darel pun demikian. Ia masih merasa ragu. Mengingat selama itu mantan istrinya menyembunyikan si sulung. Rasa-rasanya tak mudah memutuskan memperbolehkan Arkha mengunjungi mereka. Terlepas dari semua dugaan itu, Darel berharap semoga hari itu nyata.
Hari di mana ia bertemu anak sulungnya setelah sembilan tahun lamanya.
Melihat Fano menunduk di ujung sofa sana, membuat Darel merasa bersalah. Ia tidak bermaksud marah atau apa pun, hanya merasa terkejut sekaligus tidak percaya. Darel beringsut maju, menghampiri sang anak. Merangkulnya.
Fano terkejut di tempat, bahunya menegang. Ia kira ayahnya marah karena ia tak juga mengatakan kabar mengenai Arkha itu. Tapi ternyata tidak. Ayahnya memang yang terbaik. Senyum Fano mengembang seketika. Bersyukur Tuhan memberikan satu orang yang selalu berusaha membesarkannya dengan baik, meskipun hanya sendirian.
"Ayah nggak marah, kok. Kamu nggak usah tegang. Lagian, bukan Ayah namanya kalau karena masalah kecil kayak gitu aja udah marah." Fano memeluk Darel dari samping, mengungkapkan betapa ia bersyukur memiliki pria itu di hidupnya.
Dan Darel hanya bisa tersenyum mendapati tingkah anaknya sang selalu saja tiba-tiba, tidak terduga. Ia mengusap pelan pucuk kepala sang anak. Tidak menyangka jika Fano sudah sebesar itu.
"Ayah nggak sabar ketemu Kakak kamu. Semoga Bunda bolehin dia ke sini."
Setelah beberapa menit berpelukan, keduanya tertawa kecil. Menertawakan sikap mereka yang mendadak melankolis tadi.
"Nonton drama lagi, yuk!" celetuk Darel sesaat setelah tawa mereka berhenti.
Fano lantas berdiri, "Ogah!" Lalu berlalu meninggalkan sang ayah.
☘☘☘
"Kok lo nggak ngasih tau Ayah, sih. Katanya mau ngasih tau?"
Lagi, Fano mendapat protes dua kali dalam satu hari. Ia mendengkus. Berusaha untuk tidak menunjukkan rasa kesalnya.
"Kalau lo nggak jadi ke sini, gue udah terlanjur bilang yang ada gue ngecewain Ayah."
"Iya, juga, sih." Fano memutar bola matanya saat Arkha terkekeh di ujung sana.
Fano rasa selain hobi mengganggunya, Arkha juga hobi tertawa. Cowok itu mudah sekali tertawa. Receh sekali hidupnya.
"Gue nggak bisa pastiin kapan gue ke sana. Tapi gue janji, dan pantang menyalahi janji. Lo boleh catat itu."
"Kalau Bunda nggak ngebolehin, lo nggak usah maksa." Fano menahan napas saat menyebut wanita yang telah melahirkannya itu.
Rasanya sangat berat untuk sekedar menyebut namanya.
"Gue udah bilang, kan. Bunda ngijinin. Gue enggak tau apa alasannya. Kalau lo ragu, lo tinggal tunggu gue muncul di depan pintu rumah kalian."
Helaan napas Fano terdengar pelan. "Gue tunggu. Gue tunggu lo ada di depan pintu rumah. Segera."

KAMU SEDANG MEMBACA
Deofano (END)
Roman pour AdolescentsFano belum pernah merasakan hebatnya kehilangan, sebelumnya. Hidupnya terasa sempurna beberapa tahun yang lalu. Ayah yang hangat, ibu yang perhatian, saudara kembar menyebalkan namun ia sayang. Semuanya terasa sempurna. Sebelum badai itu datang. Me...