Deofano :: Dua

6.3K 324 8
                                    

Melihat Fano yang sejak tadi diam saja, Oji semakin merasa bersalah. Pemuda itu paham, ia telah salah bicara. Sebagai teman dekat seharusnya Oji tahu, pribadi Fano memang begitu. Susah ditebak dan jangan sekali pun membuatnya terganggu. Fano juga orang yang selalu memikirkan perkataan orang lain. Tak peduli apakah ia benar atau justru sebaliknya. Seharusnya Oji paham, bercandanya tentang 'pergi' tak pernah diterima oleh Fano.

Suara notifikasi sebuah aplikasi, membuat Oji mengalihkan pandangan. Lalu mulai fokus pada benda pipih itu.

"No. Kata Arkha, kenapa nomer lo nggak aktif?"

Fano menoleh, menatap Oji dengan kernyitan di dahi. Sedetik kemudian, ia berdecak. Mengapa saudara kembarnya itu suka sekali mengganggunya? Sayangnya ia tidak tahu bahwa Fano saat ini sedang dalam mode tidak bisa diganggu.

"Bilang, cari mangsa lain. Gue sibuk."

"Oke."

Banyak hal yang sebenarnya tak Oji mengerti tentang sahabatnya itu. Salah satunya, keberadaan sang saudara kembar. Oji tahu, jika kedua orang tua mereka bercerai. Ia juga tahu, Fano dan Arkha terpaksa berpisah. Bukan hanya tempat tinggal, tapi juga jarak yang membentang. Hanya saja, ia masih tak mengerti mengapa keduanya memilih untuk berpisah padahal mereka sama-sama tahu, bahwa mereka saling bergantung satu sama lain. Mengapa tidak mencoba membujuk salah satu orang tua mereka untuk memperbolehkan keduanya bersatu. Tapi sayang, Oji tak punya hak untuk itu. Yang harus ia lakukan sekarang, hanyalah menjaga Fano. Memastikan pemuda itu baik-baik saja, walaupun sebatas fisik. Oji tak pernah tahu bagaimana keadaan bathin anak itu, baik-baik saja kah? Atau justru sebaliknya.

Yang Oji lakukan ketika selesai membalas pesan Arkha hanyalah memandangi Fano yang saat itu tengah membaca sebuah novel. Satu lagi hal yang membuat Oji bertanya-tanya tapi sungkan untuk menanyakannya langsung. Sejak kapan Fano suka membaca?

Menjadi teman pemuda itu sejak usia awal belasan, tak membuat Oji lantas memahami seluk beluk Fano. Fano terlalu gelap untuk ia sinari. Fano terlalu abu-abu untuknya yang seperti pelangi. Banyak hal yang perlu ia ketahui lebih dalam tentang pemuda itu.

"Apa?"

Oji terkesiap saat tiba-tiba Fano memergokinya menatap ke arah cowok itu. Dengan gerakan kikuk, Oji hanya menggeleng sembari mengusap tengkuknya.

"Nggak ada apa-apa, lanjutin aja bacanya. Gue mau keluar, jemput si Ori. Kayaknya masih di kantin." Fano mengangguk.

Fano mengembuskan napasnya kasar. Ia tak bermaksud marah atau apapun pada sahabatnya itu. Tapi sungguh, kata pergi yang sempat Oji lontarkan sebagai candaan itu mengganggunya. Setelah sekian lama luka itu hampir tertutupi, detik itu juga seolah terbuka. Sedikit demi sedikit. Fano berusaha mencoba bersikap biasa saja. Sayangnya, ia tak bisa. Fano masih belum bisa menguasai emosi sepenuhnya. Ia memang tidak akan meledak-ledak seperti saudara kembarnya. Melakukan hal yang sebelumnya tak ia sukai, menandakan jika emosinya tidak stabil.

Seperti tadi. Fano yakin Oji mengetahui hal itu. Fano tidak suka membaca, namun kali ini ia bahkan membaca novel setebal 500 halaman itu. Jelas saja Oji mengetahui jika ia sedang tidak baik-baik saja. Yang sayangnya, Oji jugalah yang menjadi perantaranya.

Dering telfon di ponselnya menyita perhatian. Fano sedang tidak ingin diganggu, tapi mengabaikan kakaknya sama saja membuat Fano menyita waktunya. Cowok itu akan melapor yang tidak-tidak kepada sang ayah dan berakhir nasihat panjang lebar dari pria paruh baya itu. Sialnya, Fano tidak mood mendengarkan ceramah malam-malam. Alhasil, dengan terpaksa Fano mengangkatnya.

"Apa?!"

"Dih, ngegas! Harusnya gue yang ngegas. Ke mana aja, lo?! Gue sampe ngechat Oji biar bisa lo angkat."

Deofano (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang