29

1.3K 46 0
                                    

" hidup dan mati itu takdir, aku tidak bisa memilih "

- sad girl -

.
.
.
.
Happy Reading♡
.
.
.
.





" dengan keluarga nona Tasya? "

" iya saya sepupunya, ada apa ya, pak? " tanya Aras ketika dirinya tiba tiba mendapat telfon dari polisi.

" nona Tasya mengalami kecelakaan di perempatan dekat rumahnya, tepatnya ketika dia selesai berbelanja. Sekarang kami sudah membawanya ke rumah sakit Medika "

Diam sejenak, ruangan lengang. Aras masih mencerna ucapan dari polisi. Sambungan sudah diputuskan oleh mereka. Tari yang mendengar percakapan segera bergegas. Menyuruh Aras menyiapkan mobil untuk berangkat ke rumah sakit.

Mereka menaiki mobil dengan tergesa. Aras memacu kendaraannya dengan kecepatan penuh. Tari hanya berdoa dan berpegangan dengan erat.

" Aras, kamu harus tenang. Kita bisa dalam bahaya kalau bawa mobil secepat ini " seru Tari agak takut. Aras mengurangi kecepatannya, meskipun mobil yang dikendarainya banyak menyalip mobil dan motor. Sumpah serapah dilontarkan para pengendara.

Aras datang dengan tergesa bersama Tari.
" ruangan atas nama Stefany Anastasya dimana ya?" Tanya Aras kepada resepsionist.

" diruang Anggrek no 102 " ucapnya.

Mereka segera menemukan ruangan itu. Tepat ketika mereka datang, dokter baru saja keluar ruangan.

" dok, gimana keadaan Tasya?" Tanya Tari dengan terisak.

" Tasya dinyatakan koma, benturan di kepalanya sangat keras. " ucapnya

" apakah ada masalah serius,dok?" Aras bertanya dengan suara gemetar.

Dokter Arya menggeleng " kami belum mengetahuinya, masih perlu pemeriksaan lebih lanjut lagi. Kalau begitu saya permisi " Dokter Arya meninggalkan mereka.

" tenang ma, Tasya pasti baik-baik aja " ucap Aras menenangkan mamanya. Dia memeluk erat sang ibu dengan berderai air mata. Baru kali ini dia bisa menangis selain karena papa dan mamanya.

" Mama mau lihat Tasya dulu, kamu hubungi papanya Tasya" ucap Tari.

Aras menggeleng tegas " aku nggak akan biarin bajingan itu untuk ketemu Tasya, ma. Nggak akan pernah terjadi " Aras menekankan setiap katanya.

" bagaimanapun dia ayahnya, nak. Apapun respondnya yang terpenting kita sudah memberitahunya " Tari menepuk bahu Aras pelan. Kemudian masuk ke ruangan Tasya.

Aras mengacak rambutnya, dia mengambil ponsel dalam saku. Berusaha untuk tidak emosi saat mendengar suara orang yang telah menyakiti sepupunya itu.

" hm " suara itu terdengar

" saya cuman ingin memberitahukan satu hal kepada anda-

" to the point " tegasnya.

" Tasya kecelakan, sekarang berada di Rumah Sakit Medika "

Suara disebrang tak terdengar lagi. Namun Aras masih bisa mendengar kalau dia menghela napasnya kasar.

" saya tidak peduli, tolong jangan ganggu saya. Saya sibuk "

Tut. Panggilan diputuskan sepihak. Aras mengendalikan emosinya, rahangnya mengeras. Tangannya terkepal kuat.

Dia memutuskan memberi pesan kepada Aldi agar dia datang. Aras kemudian masuk ruangan Tasya.

" Mama mau ke kantin dulu beli makanan, kamu jagain Tasya " ucap Tari kemudian keluar.

Aras menggenggam tangan Tasya. Dingin. Bibirnya juga pucat. Matanya berkaca kaca, dia sudah tidak bisa menahan air matanya yang ingin mendesak keluar. Hingga isakan kecil itu terdengar.

" Sya, kenapa lo nggak kabarin gue aja kalau mau pergi. Gue bisa temenin, dan kejadian ini nggak akan terjadi " dia diam sejanak. " semua ini salah gue, Sya. Gue emang nggak becus jadi kakak buat lo. Maafin gue hiks maafin gue " bahunya bergetar hebat. Dia mencium punggung tangan Tasya. Menyeka air matanya kasar.

" lo selalu marah kalau gue nangis kayak gini, sekarang marahin gue, Sya. Ayo marahin gue. Gue lagi nangis nih. Ayo, Sya marahin gue. Kenapa lo diem aja dari tadi " Aras berbicara sendiri. Tasya masih diam, Aras mulai gila sendiri.

Cklek, tiba tiba pintu dibuka. Aldi muncul dari balik pintu dengan tergesa. Aras menoleh, kemudian beranjak dari duduknya. Dia memilih keluar, memberikan waktu kepada Aldi.

Aldi masih berdiri di dekat ranjang, kakinya seperti jelly. Dia berusaha mendekat, duduk dibangku yang sudah disediakan.

Dia menggenggam jemari Tasya dengan lembut. Menempelkannya dipipinya. Tangannya terasa dingin menembus ke kulit Aldi. Dia menahan sesak di dadanya.

" baru juga kita baikan, Sya. Sekarang kamu udah disini aja. Kenapa kamu nggak telpon aku aja? Aku bisa nganterin kamu dan kamu nggak akan disini " Suara Aldi parau.

" kamu tahu nggak, kamu itu kadang nyebelin, suka bikin orang ketawa karena tingkah polos kamu. Makanya aku bisa secinta ini sama kamu. Tolong bangun...ada aku disini yang nungguin kamu. Bangun, Sya. Bangun. " Aldi menyeka air mata disudut matanya.

Aldi kelelahan, semalaman dia tidak bisa tertidur karena perasaannya tidak enak. Aldi merebahkan kepalanya dipinggiran ranjang, masih dengan menggenggam tangan Tasya. Hingga matanya terasa berat, dan kegelapan merenggutnya.



...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Hello guys, aku comeback!

Jangan lupa vomment

Sad GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang