Jakarta, 20 Juni 2005.
Aku mengingat hari itu, karena merupakan hari dimana pertama kalinya aku masuk ke SMA. Sekolah Swasta yang sama dengan Abang. Sengaja orangtua kami menempatkan kami di sekolah yang sama dengan alasan agar mudah saat diantar atau berangkat bersama.
Saat itu Abang sudah diperbolehkan mengendarai sepeda motor. Aku tidak mengetahui secara detail mengenai peraturan lalu lintas saat masa itu, yang aku tahu pelajar mengendarai sepeda motor saat itu adalah hal lumrah. Banyak yang tidak memiliki izin mengemudi tak menjadi masalah. Hal ini terbukti dengan banyaknya pelajar yang berkendara di jalan saat pagi yang aku yakin tidak semuanya memiliki surat izin mengemudi.
Sekolah kami sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumah. Namun memang harus menaiki kendaraan. Sekolah kami termasuk Sekolah Swasta terbaik pada tahun itu. Dahulu Sekolah Swasta biasa memiliki image diisi dengan siswa-siswi dari keluarga berkecukupan. Tidak jarang juga image itu diselingi dengan anggapan bahwa para pelajar dari Sekolah Swasta biasanya diisi dengan para murid yang secara akademik tidak lebih baik dibanding Sekolah Negeri Pemerintah. Pandangan dari pemikiran ini pernah kurasakan.
Eits, jangan salah. Walaupun Sekolahku dulu Sekolah Swasta tetapi kami harus mengikuti ujian masuk dengan banyak saingan sepenjuru kota. Bisa dikatakan saat itu Sekolahku prestige, bukan karena kepopuleran akan hal biaya tetapi siswa yang masuk kesini memang berprestasi tersaring melalui ujian karena akademisnya.
Untuk durasi belajar di Sekolah juga tidak terlalu lama. Tidak seperti masa sekarang dimana jam pulang pelajar SMA bisa sampai pukul 15.00 wib lama sekali bukan.
Aku mengenal Irza saat masa SMA. Irza ini teman sekelas Abang. Perkenalan pertama kami terjadi begitu saja tanpa perkenalan yang manis.
Kuperhatikan suasana Sekolah di pagi hari, di hari para siswa-siswi baru akan menjalani masa orientasi. Abang sudah masuk lebih dulu dari aku yang harus berbaris untuk memasuki gerbang.
Inilah yang membuatku malas, mengikuti masa orientasi. Banyak peraturan yang seharusnya tidak perlu harus dijalankan. Kulihat beberapa siswa-siswi memakai almamater keren yang menandakan mereka pengurus OSIS yang akan membimbing kami para anak baru. Tetapi sayang Abang bukan salah satu dari mereka.
Aku berjinjit karena beberapa orang yang masih baris di hadapanku. Untuk melihat Abang yang sudah berada di dalam gerbang sekolah dan sedang berbicara sambil tertawa dengan laki-laki yang memakai almamater. Tampan, iya temannya saat itu tampan dan agak keren. Aku berharap Abang membantuku agar tak perlu antre seperti ini, karena dia pasti kenal dengan para Kakak OSIS ini.
Tapi apa yang terjadi saat mata kami sudah bertemu dan aku sudah melempar senyuman manis, Abangku yang menyebalkan itu justru membuang pandangan dan pergi begitu saja. Sungguh privilage punya saudara yang satu sekolah tidak bisa kunikmati saat ini.
Setelah meng-antre seperti yang lainnya, aku pun memasuki gerbang Sekolah. Kuperhatikan sekitar penjuru sekolah. Sekolah ini memiliki dua lapangan yang satu tempatku berdiri sepertinya untuk moment upacara dan yang satunya lagi sepertinya khusus untuk olahraga. Jika lihat tampak luar, sekolah ini memiliki empat lantai yang dijadikan kelas. Untuk fasilitas lainnya yang kulihat di brosur saat pendaftaran masih ada lapangan basket indoor. Aku juga sudah banyak bertanya sebelumnya mengenai apa saja yang ada di Sekolah ini oleh informan nomor satuku. Siapalagi kalau bukan Ardian Jusuf. Untuk yang lainnya sepertinya sama seperti sekolah pada umumnya.
Kudengar seorang suara perempuan berteriak memanggil namaku dan itu Yuri. Sahabatku, kami memang janjian untuk melanjutkan Sekolah disini dan untungnya kami lolos seleksi.
Sungguh, masa orientasi sangat memuakkan. Hari pertama saja aku sudah sangat tak tahan. Berjemur di lapangan dan bayangkan saja, aku menjadi salah satu siswi yang disuruh menempelkan daun di bibirnya dikarenakan selalu terlihat merengut menurut kakak OSIS yang aku ingat dia pasti teman Abang yang tadi bicara di dekat gerbang. Bagaimana aku tak merengut, aku sangat kehausan dan merasakan dijemur di lapangan dengan keadaan cuaca panas lebih dari tiga jam seperti ini.
Kulihat name tag di almamater orang yang tadi menempelkan daun dengan selotip dibibirku, Irza Risdian. Namanya Irza Risdian, akan aku ingat namanya, ku tandai orang ini lihat saja nanti, aku bisa mengadukan tindakannya ke Abang. Gayanya sok sekali.
"Kenapa lihat-lihat?" tanya nya sambil menutupi name tag di dada.
Aku hanya menjawab dengan gelengan.
"Gak suka lo, ditempelin daun begitu? Mau ditambah lagi daunnya? Dijidat nih tambahin," katanya.
Kan, memang menyebalkan ini orang. Aku menggeleng lagi dengan tatapan sinis kewajahnya.
"Renjana, lo ini tetangga nya Ardi kan?" Tadi Ardi bilang begitu," ucapnya sambil membaca namaku di kertas karton yang sedang kukalungi.
Tetangga? Apa Abangku bilang seperti itu ya sama dia. Dasar Ardi, ternyata dia juga sama menyebalkan nya.
______________________________________
Hari itu, aku masih mengingatnya pertemuan pertama kami yang sangat biasa saja sebenarnya. Hari dimana aku melihatnya sebagai anak laki - laki dengan almamater keren yang dikenakannya. Hmm aku jadi tersenyum menulis bagian ini, mengingat pertemuan kami . Kalau dipikir, ternyata dia dan Abang memang sangat menyebalkan.Aku tidak menyangka pertemuan kami untuk pertama kalinya menjadi sebuah awal yang kedepannya bisa membuat luka. Tidak, tidak sepenuhnya luka ada terselip kisah yang membuatku bahagia walaupun sebentar. Dan sekolah menjadi saksi tempat dimana kami dipertemukan oleh semesta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reminiscent (COMPLETE)
ChickLitApa ada yang lebih sesak dari kehilangan? Renjana Jusuf seorang novelis kisah cinta yang beberapa dari karyanya menjadi Best Seller. Karena memiliki kenangan masa lalu yang pahit untuk dilupakan, Ia tertarik menuliskan kisah dan kenangan hidupnya un...