16. Maaf dan Ikhlas

3.5K 405 28
                                    

Diputer ya multimedianya :)

Happy Reading.

_______________________

Jakarta, 11 Mei 2017.

Sampai hari ini aku belum menjawab ajakan Mas Gilang untuk menikah. Aku masih bingung. Tak pernah menyangka dan terpikir olehku untuk menjadi istrinya. Terlebih selama ini aku menganggapnya seperti pengganti Abang. Walaupun terkadang ketika dia sedang menjadi laki-laki yang baik nan tampan terbesit kekaguman untuknya. Jika berpikir realistis Mas Gilang memang calon yang potensial. Namun, sungguh aku tidak semenggebu-gebu itu untuk menjadi istrinya.

Hubungan kami masih berjalan seperti sebelumnya. Banyak komunikasi yang kami lakukan. Bahkan chat di ponselku sangat di dominasi duo kakak beradik ini, iya tentu saja dengan adik nya, Yuri.

Mengenai Irza, tidak ada komunikasi yang terjalin antara kami setelah pertemuan di cafe kemarin. Hmm, memang aku ingin mengharapkan apa. Aku menertawakan diriku sendiri atas pemikiranku.

Dan mengenai proyek cerita novel baruku yang berisikan mengenai perjalanan dan kisah selama sebelas tahun ini, tentu saja masih kulanjutkan kisahnya. Mengikuti cerita mulai dari kembalinya aku ke Jakarta sampai pertemuanku kemarin dengan Irza untuk melepaskan beban dihatiku.

Tentu saja ada beberapa bagian cerita yang kutuangkan dengan modifikasi agar tidak terlalu sama dengan cerita asliku ini. Begitu juga nama tokoh nya, tidak mungkin aku memasukan namaku, Abang, Irza dan lainnya dengan nama kami.

Kesehatan Eyang juga sudah cukup membaik, walaupun dokter bilang Eyang tidak akan bisa sembuh karena faktor usia, namun dengan mengikuti prosedur rawat jalan ini, setidaknya bisa membuat penyakitnya tidak semakin memburuk. Iya, hanya usaha ini yang bisa kami lakukan.

Dan hari ini, aku kembali mengantar Eyang ke Rumah Sakit yang sama dimana tempat Irza sedang menjadi residen. Kalau sebelumnya, aku punya rasa segan bila bertemu dengannya, sekarang rasa itu sudah tidak ada lagi. Aku melangkah dengan percaya diri untuk mengantar Eyang. Seperti harapanku setelah pertemuan kemarin, hatiku terasa lega dan benar saja itu memang terjadi.

Mulai dari pendaftaran sampai pengambilan obat urutannya sama seperti sebelumnya. Kulihat antrean pengambilan obat tidak membeludak. Kalau seperti ini kami tidak akan menunggu lama dan bisa kembali ke rumah secepatnya.

Sambil menunggu banyak obrolan yang aku dan eyangti lakukan untuk membunuh waktu. Tetap disaat kami sedang menunggu, kulihat sekitar empat orang yang mengenakan jas putih berjalan dengan langkah cepat secara bersama. Dan netraku tertumpu pada satu orang yang kukenal. Irza bersama rekannya yang berjalan dihadapan kami dengan sigap.  Aku segera menoleh ke Eyangti yang duduk disampingku untuk melihat responnya. Teryata Eyang sedang memperhatikan mereka sampai rombongan para dokter tadi tak terlihat oleh kami.

"Itu Irza ya, Ren."

"Nggak tahu, Eyang salah lihat kali," jawabku berbohong.

"Alhamdulillah ya, kalau dia sehat. Jika benar itu dia, Alhamdulillah dia sudah jadi dokter ya sekarang. Eyangti bersyukur lihatnya."

Aku tercengang dengan ucapan Eyangti.

"Kenapa Eyang justru bersyukur dengan keadaanya?" tanyaku penasaran.

"Hmm lho iya, Eyang bersyukur dia bisa hidup dengan baik. Setidaknya harus ada yang menjalankan hidup dengan baik diantara kita semua," ucap Eyangti sambil menggenggam tanganku.

"Eyang yakin, Abang kamu juga pasti senang kalau Irza bisa menjadi laki-laki yang sukses sekarang."

Aku termenung mendengar kata-kata Eyang.

Reminiscent (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang