2. Ternyata Satu Rumah

5.8K 550 10
                                    

Jakarta, 27 September 2005.

Sudah beberapa bulan aku menjadi salah seorang siswi di sekolah ini. Kegitannya sama, tidak ada yang berbeda dengan para siswi kebanyakan. Namun ada hal yang selalu kuperhatikan. Abang dan temannya itu. Setelah aku menandai dia saat masa orientasi, aku jadi selalu memerhatikannya.

Ternyata mereka satu kelas. Irza juga aktif organisasi. Kulihat namanya kadang ada di mading sebagai pengurus. Di perpustakaan  juga namanya tercantum sebagai pengawas sarana. Sudah pasti dia cukup populer. Itu kan yang akan di dapat oleh siswa aktif organisasi, selain image yang bagus kepopuleran mengikuti.

Walaupun setelah kuketahui ternyata masih banyak senior yang lebih populer dari dia apa lagi Abang haha. Mereka berdua sering terlihat bersama. Saat kami bertemu di kantin, mushola, dan berpapasan di koridor. Hal yang menjengkelkan Abang selalu cuek jika bertemu denganku. Apa coba alasannya? Aku juga tak mengerti.
Padahal jika berangkat dan pulang kami hampir setiap hari bersama.

Kadang jika di rumah, ku dengar Abang sering meminta izin ingin pergi dengan teman nya dan nama Irza lah yang disebutnya. Aku bisa menyimpulkan mereka memang akrab.

Siang hari saat nya waktu pulang tiba, aku bergegas keluar dari gerbang sekolah dan berjalan sedikit beberapa meter untuk menuju halte bus terdekat. Selain menaiki motor bersama Abang cara untuk sampai ke rumah yaitu dengan menaiki transportasi umum. Walaupun jaraknya tidak terlalu jauh aku harus dua kali menaiki bus umum untuk sampai kerumah. Karena tidak ada jurusan bus langsung yang melewati perumahan kami.

Sudah beberapa hari Abang sakit, tulang lengan nya bergeser karena cidera saat pertandingan karate. Karena hal itulah sudah beberapa hari ini setiap pulang sekolah aku harus menaiki bus sampai kedepan komplek perumahan. Sudah beberapa kali bus yang kutunggu berhenti di depan halte tetapi sangat ramai penumpang dan beberapa kali juga aku menunda untuk naik apalagi cuacanya sangat terik.

Harus berhimpitan dengan banyak orang, membayangkannya saja membuatku pusing. Belum lagi memang bus yang akan aku tumpangi terkenal ugal-ugalan saat berkendara. Sering jadi candaan di keluargaku kalau naik bus semacam ini seluruh kekuatan harus dikerahkan. Belum lagi harus waspada dengan copet atau semacamnya.

Dan terlebih lagi, aku tidak memiliki teman yang pulang dengan jurusan bus yang sama. Kalaupun ada yang aku kenal, kami hanya bersama di halte saja. Mengobrol sebentar dan berpisah sampai bus yang akan kami naiki sampai didepan halte.

Andai saja rumahku dan Yuri searah, pasti dia tidak keberatan jika aku menebeng. Yuri selalu dijemput dengan supirnya. Yuri mau saja meminta supirnya untuk mengantarku pulang, tetapi aku tahu diri untuk tidak merepotkan.

Ada seseorang menaiki motor menghampiriku dan membuka kaca helmnya menawarkan untuk pulang bersama. Ternyata dia. Orang yang sering kuperhatikan.

"Eh, lo kan tetangga nya Ardi ya? Siapa namanya Renjana bukan? Mau bareng gak? Gue mau kerumah Ardi nih," tanya Irza.

Peetanyaanya terlalu banyak, ucapku dalam hati.

Sambil melihat ke arahnya, dalam hati aku juga sedikit kesal, tidak sopan panggil "eh" begitu. Tapi cuaca nya sedang panas dan aku tiba-tiba jadi malas untuk naik bus. Kenapa ya?

"Lo mau ke rumah Ardi? " tanyaku memastikan. Tentu saja  berusaha memasang wajah datar.

"Iya," jawabnya.

"Gratis kan ini?"

"Mau bareng gak?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku.

Tanpa pikir ulang, aku langsung menghampirinya memakai helm dan duduk di belakang. Lumayan aku tidak perlu berdesakan di dalam bus. Kulihat beberapa siswi di halte memerhatikan kami.

Sepanjang perjalanan tidak ada obrolan yang terjadi. Ini seperti ojek dan penumpang nya. Tidak terlalu lama sampai aku sadar motor yang membawa kami masuk ke komplek perumahan.

"Rumah lo yang mana? Mau turun dimana?" tanya Irza dengan suara sedikit kencang.

"Lurus aja, masih agak ke dalam, nanti gue bilang stop kalo udah sampai," sahutku.

Tidak ada sahutan. Kami saling diam lagi. Ini terasa lama padahal jarak portal perumahan jika ditempuh dengan motor untuk sampai ke rumah hanya tidak sampai lima menit.

Sampai beberapa rumah lagi menuju depan rumahku. Aku pun bersuara.

"Itu dua rumah lagi dari sini," kataku sambil menunjuk sebuah rumah.

Motornya masih melaju dan berhenti tepat didepan rumah yang kutunjuk.

"Ini mah rumah Ardi, gue udah tau. Lo gak perlu kasih tau. Gue tanyakan rumah lo?" tanyanya.

Membuka helm aku meninggalkan dia dengan wajah penuh tanya dan berjalan masuk. Tidak lama saat aku masuk ke dalam rumah. Dia mengucapkan salam dan di sambut baik oleh Mama.

"Kok lebih cepat Ren, kamu naik apa ? Kalian barengan ya?" tanya Mama penasaran.

"Ojek!" jawabku singkat.

Abang, Mama dan Irza kudengar sedang mengobrol di ruang tamu. Dengan tawa Abang yang terbahak mendengar cerita Irza tentang kejadian mulai dari aku menumpang di motor Irza sampai turun di depan rumah dan masuk ke rumah yang sama.

"Irza beneran gak tahu loh tante kalau itu adek nya Ardi. Ardi bilang tetangga," kata Irza.

"Masa kamu gak perhatikan Iren mirip sama Ardi. Bedanya dia Cantik," sahut Mama.

"Ewwh Mama puji Iren gitu, di dalam kamar pasti hidung nya kembang- kempis. Mending sekarang lo tagih ongkos deh Za ke Iren, udah kayak ojek juga tadi," kata Bang Ardi.

Dan mereka bertiga tertawa. Memang bodoh menurutku sampai dia tidak bisa memperhatikan kami yang kakak adik. Mana mungkin jika hanya tetangga tetapi Ardi mau menungguku yang pulang lebih lama karena kegiatan ekstrakulikuler.

"Kalau main kesini gak lihat foto Iren?" tanya Mama.

"Lihat, tapi kok agak beda ya tante? Sepintas aja gitu, kan gak pernah ketemu juga."

Memang kami tak pernah bertemu sebelumnya. Aku selalu ada didalam kamar setelah pulang sekolah. Apalagi saat kudengar ada teman Abang misalnya diruang tamu. Aku pasti menahan diri untuk keluar kamar.

Abang memaksaku untuk bergabung bersama mereka. Setelahnya aku jadi ikut mengobrol bersama. Irza juga  meminta maaf  karena kesalahpahaman tadi.

"Ini Bang, yang waktu orientasi siswa dia tempelin bibir gue pakai daun coba," kataku mengadu.

Sebenarnya aku pernah membicarakan ini sama Abang Ardi tapi dia hanya ditanggapi dengan tertawa.

"Iren, lo jangan cupu gitu dong. Masa ngadu sih, begitu doang. Terserah Irza lah dia kan pembimbing lo pas waktu itu."

Salah! Aku jadi malu, karena mereka malah mentertawakanku.

Kami pun banyak bertukar obrolan sesama siswa-siswi di sekolah. Semua obrolan mengalir begitu saja. Apalagi Abangku orang yang supel jadi membantu agar tidak ada kecanggungan diantara kami.

______________________________________________________________________________

Jika ku ingat, moment di hari itu merupakan awal dimana kami bisa saling lebih mengenal dan bisa dikatakan menjadi teman.


Reminiscent (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang