8. Rasa

3.4K 412 8
                                    

Jakarta, 12 April 2006.

Kedekatanku dan Irza nyatanya semakin terjalin. Banyak hal yang sering kami lakukan bersama. Aku jadi lebih sering ikut Abang jika ingin pergi main bersama Irza di rumah nya.

Abang bilang kadang keikutsertaanku mengganggu. Tetapi aku tak perduli. Aku hanya ingin ikut, iya itu alasan aku saja. Sebenarnya aku senang melihat Irza. Padahal disana aku ganya menonton mereka bermain playstation. Kadang aku rese meminta mereka meminjamkannya. Padahal aku tidak bisa memainkannya.

Kami juga sering jalan bertiga. Biasanya aku diledek mereka dengan kata "kebelet gaul". Kenapa bisa ada ledekan seperti itu, ya karena aku sering memaksa mereka mengantarku coba makan di cafe yang sedang hits dikala itu. Kadang juga ikut jogging dan badminton dengan dua lelaki ini. Mengikuti mereka kasana - kesini. Kalau mereka beralasan ingin pergi cari sesuatu, aku pasti memaksa ingin ikut. Pokoknya harus ikut.

Tetapi jika mereka sudah beralasan ini urusan anak laki -laki, aku pun mengalah. Biasanya kalau Abang sudah berkata seperti itu setahuku mereka ingin kumpul bersama teman lainnya. Untuk kegiatan yang ini aku tidak tahu pasti apa yang mereka lakukakan.

Dalam beberapa hari kedepan mereka berdua akan ujian nasional. Mereka sibuk untuk ikut pendalaman materi. Aku jadi lebih sering pulang sekolah menaiki bus lagi. Belum lagi mereka ikuts bimbel untuk masuk ke PTN. Abang sebenarnya tidak terlalu dipaksa untuk ikut ini. Orangtuaku bilang tidak masalah kuliah di PTS. Namun, Abang bersikeras mencoba nya. Dia punya kampus impian.

Saat memasuki ke kamar Abang, ku lihat dia sedang bercermin dengan setelan kaus yang dilapisi kemeja flanel dan jeans sebagai bawahan dan sedang merapikan rambutnya.

"Lo kok mau ujian masih keluyuran sih?" tanyaku karena pasti dengan setelan seperti ini dia takmungkin berdiam diri di rumah.

"Gue mau jemput Ariana," jawab Abang dengan percaya dirinya.

"Lho masih Bang? Ariana memang mau sama lo?" Candaku.

"Dih sembarangan lo? Mau lah!"

"Coba lihat gue dengan serius dan seksama Ren," pintanya dengan mimik wajah serius ke arahku.

Dengan polosnya aku pun menuruti.

"Udah bisa kan, liat kegantengan gue?" Tanyanya.

"Issssh, dasar ya geli banget," jawabku jengkel dan memukul guling yang ada didekatku ke wajahnya.

Abang pun hanya terbahak dengan kejengkelanku akan sikapnya.

Aku ikuti Ia sampai ke ruang tamu.

"Yailah, udah mau ujian juga diem kenapa sih di rumah," ucapku masih tak terima. Kami baru saja pulang dari sekolah satu jam yang lalu.

"Yailah nanti gue stress Ren, terus gila. Lo mau punya Abang gila?" jawab Abangku asal bicara dan tentunya sambil mengeluarkan canda.

"Nggak usah mau ujian juga lo udah agak gila kali" jawabku menimpali perkataan absurdnya.

"Wah, kampret ya," ucapnya sambil memiting leherku.

"Lo juga belajar yang pinter Ren, jangan main mulu. Apalagi sama Irza mulu lo. Nyusahin dia tahu" ucap Abang serius.

"Apasih kok lo tiba-tiba ngomongin Irza gitu," sahutku.

"Iya, dengerin apa yang Mama bilang. Ikutin aja, jangan sering makan mie instan. Nanti otak lo kriting," ucapnya sambil tertawa.

"Ih apasih lo gak jelas deh ngomong nya, kenapa jadi nasehatin gue gitu " jawabku tak terima.

"Yeh dibilangin," sahut Abang.

Abang pergi begitu saja sambil mencomot keripik kentang di dalam toples yang sedang aku pangku. Karena sudah sering Abang bilang aku menyusahkan Irza aku jadi ingin menanyakannya. Kuputuskan mengirimkan pesan singkat padanya.

Renjana :
Za, emang nya lo sering cerita apa ke abang, kok abang bilang gue sering nyusahin lo?


Irza :
lah emang iya kan hahaa.

Renjana :
Yaudah, kalo gitu jangan bantuin gue lagi kalo ada apa apa. Makasih ya. Bye!


Karena responnya yang seperti itu, aku pun membalas pesannya denga  kesal. Tidak ada lima menit dering ponsel Nokia ku berbunyi, ada panggilan masuk dari Irza.

Duh, kenapa ditelepon seperti ini ya. Aku sering baca cerpen di majalah Gadis. Adegan seperti ini pernah kubaca ketika si wanita sedang ngambek dengan kekasihnya.

"Hallo, ngapain telepon gue?" jawabku yang masih kesal.

"Galak banget sih Ren," jawabnya sambil tertawa.

"Makasih ya, maaf kalo gue sering nyusahin lo Za. Apalagi kemarin sering antar pulang. Gue nabung dulu deh buat bayar ongkos yang berhari hari," Ucapku tulus. Aku benar benar merasa tidak enak.

"Yaampun Iren, bercanda kali. Ngapain bayar emang gue nagih. Kenapa lo dengerin Ardi. Lo nggak nyusahin kok" jawab Irza.

"Beneran?" Tanyaku dengan mood yang membaik.

"Iya, orang gue seneng kok antar lo pulang," ucap Irza dengan suara agak mengecil.

Kenapa tiba - tiba aku jadi tersenyum malu.

"Tapi Abang sering bilang gitu. Gue nyusahin lo mulu katanya," ucapku memastikan.

"Nggak Ren, nanti gue marahin Ardi," kata Irza menenangkan.

Loh kenapa jadi Irza yang membelaku.

"Jadi kalo antar gue lagi gak nyusahin kan? masih boleh kan kalau gue nebeng, kadang gue malas naik bus," tanyaku kali ini serius karena sejujurnya memang aku malas harus naik bus.

"Kalo bisa setiap hari gue nggak keberatan kok Ren, kan jadi ojek lo seumur hidup gue juga mau," ucapnya dengan canda yang menurutku tidak lucu.

"Tapi kan habis ujian kan, lo pasti libur Za."

Ya gak masalah dong. Tenang aja tetep gue jemput deh.

Entah mengapa hatiku terasa senang, tak terasa senyumku semakin lebar. Padahal kalau habis ujian dia libur, tentu saja Abang juga libur. Irza bisa saja tak perlu menjemput.

"Yaudah kalo gitu Za," jawabku bingung menimpali.

Aku bingung mau melanjutkan dengan obrolan apa.

"Udah gitu doang?" tanyanya dari ujung sana.

"Terus apa? Udah nanti pulsa gue habis," sahutku kikuk.

"Loh, ininkan gue yang telepon lo duluan, masa lo yang kehabisan pulsa," jawab Irza.

Kenapa aku bisa sebodoh itu, aku sampai lupa bahwa Irza yang duluan menelponku.

"Bilang makasih gitu," kata Irza lagi.

"Hehe makasih ya Irza," ucapku kikuk.

"Nggak pakai Abang atau Kakak gitu?" tanyanya.

"Lo kan bukan Abang gue" jawabku mencari alasan.

"Tapi kan kakak kelas lo," sahutnya.

"Udah ya gue mau makan keripik kentang. Bye!" Sahutku cepat.

Sambungan telepon kuputuskan, aku berdiri sambil memeluk toples keripik kentang. Entah kenapa tingkahku jadi aneh. Moodku sangat baik seharian setelah menerima telepon dari Irza.

Lagu D'Cinnamons yang berjudul selamanya cinta, dikala itu sedang sering diputarkan oleh stasiun radio. Aku jadi sangat menyukai lagu ini. Karena merasa lagu ini seperti mewakili perasaanku.

_________________________________________

Sambil menuliskan part ini aku mencari lagi lagu D'Cinnamons di Spotify dan mendengarkannya kembali, ini lagu lama. Saat itu, lagu ini sering sekali kudengarkan. Lagu ini seperti punya kenangan untukku. Remaja yang sedang dilanda rasa senang tetapi tidak tahu apa maksud perasaanya. Hmm, apakah dulu aku dilanda cinta monyet. Aku tak tahu pasti.

Reminiscent (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang