10. Awan Hitam

3.5K 479 38
                                    

Hai semua selamat membaca ya
Buat yang masih bingung alur cerita ini maju-mundur.
Renjana beberapa kali flasback buat nulis cerita ini jadi karya nya.
Oh iya sambil baca dengerin musiknya biar makin kerasa feel tahun 2000-nya.

_____________________________

Jakarta, 23 April 2006.

Semalaman kami menunggu Abang. Matahari sudah muncul tetapi keadaanya belum membaik. Kami semua masih disini menunggu di rumah sakit. Papa yang dikabarkan oleh Eyang langsung datang saat larut malam.

Keluarga Irza sudah memberitahu kami apa yang sebenarnya terjadi. Mereka mengajak Papa untuk berbicara sedangkan aku, Eyang dan Mama hanya bisa mendengarkan.

Miris sekali harus mendengarkan penyebabnya. Bahkan saat mendengar Irza menjelaskan, aku melihatnya meneteskan air mata. Iya dia menangis dihadapan kami semua.

Satu jam yang lalu, Abang baru dipindahkan kedalam ruang ICU. Tidak ada satu orang pun yang bisa melihat keadaanya.

Berdasarkan cerita yang aku dengar dari Irza, malam itu Irza yang mengajak Abang untuk ikut nonton racing motor ya bisa dikatakan seperti balap liar yang pesertanya teman satu sekolah juga. Tadinya mereka hanya ingin menonton saja. Namun mereka akhirnya ikut andil juga.

Irza mengaku kalau mereka sudah beberapa kali ikut ini. Kegiatan ini sudah sangat lumrah dikalangan murid sekolah. Namun malam itu memang Abangku yang sedang sial.

Abang mengalami kecelakaan motor yang sangat parah. Banyak organ dalam dan vitalnya yang terluka. Terlebih paru - paru, belum lagi cidera di kepala. Jangan tanya bagaimana motornya. Karrna si pengendara saja sedang terbaring kritis di dalam. Sudah pasti motornya hancur dengan kerangka yang ringsek.

Kami sekeluarga yang mendengar cerita itu menjadi tak habis pikir. Aku tidak menyangka mereka ikut kegiatan bodoh seperti itu. Entah apa yang ada dipikiran mereka sampai mau ikut kegitan itu. Ingin merasa keren kah sampai harus bertaruh nyawa.

Jujur saja disaat dilanda kesedihan seperti ini, aku pun menjadi kesal dengan Irza. Aku merasa sangat kecewa sekali dengan mereka. Apalagi dengan keadaan orang tuaku yang tahu semua ini.

Seperti yang terlihat mereka berdua seperti anak baik yang jarang membangkang. Tapi, memang kita tidak bisa percaya dengan seseorang seratus persen.  Orang tua Irza sudah berkali kali minta maaf kepada keluargaku. Irza terus menunduk, aku tahu pasti dia merasa bersalah. Ketika mata kami tak sengaja bertatap, Ia pu langsung menunduk lagi.

Sampai siang hari tidak ada satu pun dari kami yang beranjak pergi. Saat sedang menunggu kabar keadaan Abang, satu orang perawat menghampiri kami semua yang sedang duduk di ruang tunggu khusus pasien ICU. Perawat itu memanggil kedua orang tuaku untuk masuk ke dalam ruangan Abang terbaring.

Saat itu kami menyangka mungkin Abang sudah siuman dan mencari orang tuanya. Mama dan Papa pun masuk. Aku dan Eyang hanya menunggu orang tua sampai mereka keluar dan semoga membawa kabar baik.

Hanya sekitar sepuluh menit menit orang tuaku di dalam lalu Mama keluar dan berteriak histeris. Papaku pun  menangis  dan berusaha memeluk dan menenangkan Mama. Ada dua orang perawat juga yang membantu menenangkan Mama saat itu. 

Karena terkejut aku dan Eyang menghampiri orang tuaku.

"Ada apa?" tanya Eyangkung.

Mama makin menangis tambah tak karuan. Bahkan sekarang beberapa orang yang juga sedang menunggu di ruang tunggu menonton kami.

"Yah, Ardi sudah nggak ada," Ucap Papa kepada Eyang sambil meneteskan air mata dan terisak pilu.

Seketika tubuhku lemas, jantungku berdegup kencang, semua terasa dingin. Aku tidak ingat lagi kejadia setelah itu. Eyangti hanya bilang kalau aku pingsan.

Sampai semua urusan di rumah sakit terselesaikan aku hanya bisa terdiam. Bahkan melihat Mama yang pingsan beberapa kali air mataku tak keluar.

Aku tidak percaya dengan keadaan ini. Bagaimana mungkin Abangku pergi. Kami pun pulang untuk mengurus pemakaman. Untuk urusan ini kami ingin terselesaikan dengan cepat.

Saat benar - benar melihat Abangku terbaring dengan untaian doa disekelilingnya, aku seperti tertampar dengar keras. Aku benar - benar baru sadar kalau kakak laki - laki ku sekarang sudah tak ada.

Sesak sekali rasanya. Ingin sekali aku mengguncang tubuhnya agar Ia bisa bangun. Tidak perlu membuat kami semua bersedih disini. Banyak orang yang memelukku saat aku menangis sejadinya saat itu.

Tubuhku sampai bergetar saat tahu kenyataan pahit ini. Semua keluarga yang hadir saat itu, aku lihat masih terus menangis mulai dari Tante, Om, Sepupu dan sanak famili mereka semua sangat bersedih.

Terlebih kulihat Mama, masih terisak sedih walaupun tubuhnya sudah lemas, air matanya sudah tidak banyak mengalir, wajahnya pucat, matanya sudah membengkak. Sedangkan Papa juga masih menangisi kepergian Abang. Baru kulihat seumur hidupku Papa dan Eyang mengeluarkan air mata sampai seperti itu.

Semuanya terasa hampa, kosong. Teman kecilku, teman berbagiku pergi satu hari sebelum ujian nasional yang sedang ditunggunya. Besok seharusnya Abangku pergi dengan percaya dirinya untuk mengerjakan ujian. Pergi untuk menyelasaikan kewajiban akhirnya sebagai pelajar dan itu nyatanya tidak terjadi.

Percakapan kami kemarin tidak terjadi. Dia bilang akan bawa diri saja untuk mengerjakan ujian karena pasti akan lulus. Tetapi, itu semua benar-benar tidak terjadi. Dia memang pergi tapi bukan untuk itu.

Kami justru berkumpul disini bersedih, berdoa untuknya dan mengantar kepulangannya. Semuanya terasa sangat cepat. Kemarin Abang masih makan malam bersamaku, kemarin kami masih saling menyapa, bercanda dan tertawa.

Sekarang aku sendirian. Tidak ada lagi anak laki-laki yang selalu menggangguku. Membuatku jengkel dan kesal tapi hati ini selalu menyisakan rasa sayang besar untuknya. Tidak ada lagi orang yang selalu iri denganku tetapi juga selalu ingin kalau aku mendapatkan yang terbaik. 

Saat pemakaman banyak sekali kawan dari abang yang melayat. Tapi dari sekian banyaknya orang aku tidak melihat Irza yang ada hanya keluarganya. Pasti dia juga sedang bersedih karena ini semua. Keluarga nya masih terus memohon maaf pada keluargaku.

Papa hanya bisa mengikhlaskan semuanya walaupun rasanya sangat berat. Tidak ada gunanya menyalahkan Irza, Abangku sudah pergi. Tidak bisa kembali bagaimanapun caranya. Kesalahan ini tidak bisa hanya dilimpahkan pada Irza.

Abangku juga bersalah dalam kejadian ini. Tetapi sulit untukku menerimanya. Masih sulit untuk mencerna keadaan ini. Andai saja malam itu Irza tidak mengajak Abang. Mungkin mereka berdua bisa mengikuti ujian esok hari.

Tetapi balik lagi, semua sudah terjadi dan menjadi takdir dari seorang yang aku sayang, Ardian Jusuf.

_________________________________________

Air mataku terus jatuh saat menuliskan bagian ini. Aku harus mengingat secara detail hari itu, rasanya sesak sekali. Semenjak kejadian itu awan hitam seperti selalu mengikuti keluarga kami.

Terlebih Mama yang sangat terpukul. Mama sangat dekat dengan Abang dan merasa sangat bersalah. Mama selalu menyalahkan dirinya dan sering berucap andai saja. Iya andai saja, malam itu Mama lebih hati-hati menjaga Abang agar tidak keluar rumah. Andai saja Mama tidak terima telepon dan masuk kamar. Andai saja kalau perlu Mama langsung menyusul Abang ke rumah Irza malam itu.

Terus seperti itu. Aku seperti kehilangan Mama. Mama menjadi sering melamun dan akhirnya menangis lagi dan lagi. Mamaku seperti kehilangan mataharinya. Selalu ada awan hitam yang mengikutinya.

Hari di Rumah Sakit menjadi hari pertemuan terakhir aku dan Irza. Sampai sekarang sebelas belas tahun berlalu kami tidak pernah bertemu lagi. Tidak ada kata perpisahan atau hal lainnya. Seingatku setelah ujian nasional selesai, aku pun masuk ke sekolah hanya sekitar satu minggu lamanya. Itu juga untuk mengurus kepindahanku ke Bandung. Aku tidak pernah melihatnya selama satu minggu itu sampai akhirnya dua belas tahun berlalu.

Teruntuk Abangku,

Walau kamu tidak bisa membaca tulisannku ini. Ketahuilah banyak yang kehilanganmu. Banyak air mata menetes untukmu dan tentu saja banyak yang merindukanmu, termasuk aku. Doaku tidak pernah terlupa untukmu. Semoga kau ditempatkan di tempat yang terbaik disisi-Nya. Aamiin.

Reminiscent (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang