Jakarta, 21 Oktober 2005.
Semenjak jarang pulang bersama dengan Abang yang belakangan ini lebih sering mengantar pulang Kak Ariana, benar saja Irza yang menggantikan Abang untuk mengantarku pulang.
Karena memang rumahku searah dengan rumah Irza, dan letak rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku. Kadang sebelum mengantar ke rumah, Irza mengajakku jajan atau makan di pinggir jalan. Kadang juga dia mengajakku ke salah satu Sekolah Dasar yang banyak menjual jajanan.
Tentu saja uang saku kami tidak banyak. Namun sebenarnya lebih dari cukup untukku. Karena aku bukan orang yang terlalu suka membeli jajanan dari luar. Hal ini sudah menjadi kebiasaan karana saat masih Sekolah Dasar dulu, Mama sangat melarang Aku dan Abang untuk jajan sembarangan di luar kantin sekolah. Kami selalu dibawakan bekal sampai sekarang saat SMA.
Larangan ini berawal saat kelas 3 SD, aku pernah diberikan uang saku yang berlebih. Aku mengakali Mama yang memberikanku uang saku, tetapi sebelum berangkat sekolah aku akan beralasan ingin pamit dengan Eyang. Tentu saja Eyang akan memberikan uang saku tambahan karena kedatanganku. Karena uang saku yang berlebih itu, aku pun seperti orang yang sedang berpesta, banyak jajan sembarangan dan berujung sakit gejala tifus. Aksi itu pun ketahuan dan Mama marah. Menurut Mama dengan uang saku yang tak seberapa tetapi berakibat membuatku sakit dan absen sekitar dua minggu apalagi biaya untuk ke dokter jauh lebih banyak dari uang saku yang ku keluarkan.
Memang pikiran seorang ibu itu berbeda ya. Banyak sekali peraturannya. Baru sekarang semua larangan itu masuk dalam nalar pikiranku. Dahulu, aku kesal sekali karena Mama bahkan tidak mengizinkan aku untuk makan mie instan. Jika kepingin sekali, Mama akan memberikan izin, tetapi tidak boleh menggunakan bumbu dari mie instan, tentu saja rasanya hambar walaupun digantikan garam. Aku yang belakangan ini sudah lihai mengakali, saat dirumah kami menuruti aturan Mama tetapi jika di kantin sekolah tentu saja aku tidak mau melewati kelezatan mie instan Indonesia yang sangat tersohor itu. Biarpun harus antre dengan para murid lainnya. Aku akan pantang mundur, sebelum mie instan dalam genggaman.
Untuk bekal yang ku bawa, Yuri atau Irza dengan senang hati menerima bekal yang Mama siapkan untukku dan aku akan makan mie instan di kantin. Hal seperti ini hampir terjadi 3 kali dalam seminggu. Yuri dan Irza bilang uang jajan mereka jadi lebih aman jika mendapat sumbangan bekal dariku.
Mengenai Irza yang menjadi ojek pribadiku, tetapi tak pernah sekalipun iya meminta bayaran. Dia benar - benar memegang ucapannya bahwa kegiatan antar pulang ini akan bebas biaya. Tetapi aku tahu diri, kadang jika kami sedang jajan bersama, aku rela untuk membayar juga jajananya.
Kalau uang saku kami tersisa banyak di hari Jumat, rutinitasnya kami akan masuk ke Mall Kelapa Gading setelah jam pulang sekolah. Makan di KFC dan bermain Timezone atau kami melakukan salah satunya saja. Mall yang dekat dengan rumah kami hanya MKG jadi disanalah kami jika ingin menghabiskan uang dan waktu. Seperti hari ini setelah bermain di Timezone sekarang kami sedang duduk makan di KFC. Banyak juga pelajar yang sedang makan disini. Mungkin memang hanya makanan ini yang pas untuk kantong pelajar.
"Ren, habis makan photobox mau gak?" ajaknya.
"Apasih norak ah."
"Lah kok norak, banyak tuh yang foto," tunjuknya.
Kulihat memang booth untuk photobox sedang dipenuhi beberapa orang yang antre. Kok aku jadi salah tingkah seperti ini ya. Bingung mau respon apa.
"Kan di ponsel lo bisa Za, ponsel lo canggih tuh," ujarku beralasan.
"Kan hasilnya bukan cetakkan."
"Yaaaaa, tapi.... gue malu ah," ucapku jujur.
"Kalau nanti ketahuan Abang, bisa - bisa gue diledekin terus," lanjutku lagi.
Ia pun tertawa mendengar alasanku. Lalu tak memaksa. Akhirnya kami tidak melakukan sesi foto iti.
"Abis ini mau pulang atau kemana lagi?" tanya Irza.
"Kemana ya? atau pulang ajalah, nanti kesorean. Abang yang marah bukan Mama," jawabku sambil mengunyah kentang goreng.
"Pergi nya sama gue juga, kenapa Ardi marah?" sahut Irza.
"Lo Ge-Er banget deh, bukan karena pergi nya sama lo deh kayaknya. Karena ya kesorean aja," jawabku.
"Hehe kirain," sahut Irza sambil tertawa lagi.
"Eh tapi ya Za, Abang suka mau tahu gitu kita kemana aja sebelum pulang," ceritaku ke Irza.
"Terus lo jawab apa?" tanya Irza penasaran.
"Ya gue bilanglah, makan dulu gitu. terus gue malah dimarahin katanya gue nyusahin lo. Udah dianter pulang masih minta makan. Gitu katanya," ceritaku kesal.
Irza pun terbahak, "emang sih," sahutnya.
Kesal aku melempar satu kentang goreng ke wajahnya. Kami banyak bertukar cerita yang sebenarnya aku yang lebih sering bercerita. Irza mendengarkan. Cerita tentang hal yang kusukai, kejadian lucu dan bodoh yang pernah kualami, bahkan cerita yang benar - benar tak penting. Menurut apa yang kudengar dari bertukar cerita dengan Irza, kusimpulkan sebanarnya dia ini pintar. Secara akademik nilainya lebih baik dari Abang. Cuma ya gitu, mereka berdua terlalu santai.
"Kalau gue masuk peringkat umum ya Ren, kasihan dong sama cowok yang lain," ujarnya.
"Lho, kenapa? Kasihan kenapa?" tanyaku dengan polosnya.
"Ya kasihan lah, gue ambil semua. Udah ganteng, pinter, anak OSIS lagi," Selorohnya dengan sangat percaya diri.
"Dih, emang dasar ya narsis banget." Banyak loh yang lebih ganteng dari Irza Risdian di Sekolah."
"Siapa?" tanyanya.
"Ada deh."
Aku tak berbohong, jika diperhatikan Irza bukan satu-satunya laki - laki tampan di Sekolah. Masih banyak yang lebih dari dia.
Selesai makan Irza mengantarku pulang, tidak seperti awal saat duduk menjadi penumpangnya, di jalan kami isi dengan obrolan. Bercanda bahkan menertawakan hal yang sebenarnya tidak terlalu lucu. Sampai waktu di perjalananpun tak terasa.
Saat motor nya berhenti di depan rumah aku pun turun.
"Makasih ya Bang, saya gak punya duit buat bayar ongkos tapinya," candaku berpura sedih.
"Utang ya Dek, besok saya tagih kalau anter pulang lagi," jawabnya menimpali candaku.
"Yah, jangan anter pulang lagi deh Bang, nanti utang saya numpuk. Abang jadi kaya gara-gara sering anter saya pulang," jawabku melanjutkan candaan.
"Emang itu tujuan saya Dek, mau kaya tanpa usaha banyak. Nanti kalau saya kaya kan Adek juga yang seneng gak perlu naik motor. Sama saya aja tapi jangan sama orang," Jawabnya sambil tertawa.
"Ih, ogah ya emang gue mau terus dianter pulang sama lo," sahutku berpura kesal.
"Lah sampai nanti gue kaya gue mau kok Ren anter lo terus," kata Irza.
"Udah sana lo pulang aja deh ngawur!" timpalku. Padahal hatiku terasa penih mendengar ucapannya.
Sambil terbahak dia memakai helm lagi. "Gue pulang ya Ren, salam sama tante," kata Irza.
"Iya, makasih ya Za," jawabku.
Dia menjalankan motor nya menjauh dari hadapanku yang masih berdiri di depan pintu gerbang. Aku melihat tasnya sampai mengecil karena jarak kami yang semakin jauh dan aku baru masuk ke dalam rumah.
Irza ini selalu tertawa jika diajak bicara. Seperti orang gila tapi tak gila. Intinya dia orang yang menyenangkan. Hmm, salah maksudnya membuatku senang.
Entah mengapa kadang dia memasuki pikiranku. Sebelum tidur kami sering bertukar pesan sampai aku ketiduran. Pulsa SMS yang banyak menawarkan bonus sangat kami manfaatkan apalagi provider kami sama.
Hatiku, sangat nyaman dengan keadaan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reminiscent (COMPLETE)
ChickLitApa ada yang lebih sesak dari kehilangan? Renjana Jusuf seorang novelis kisah cinta yang beberapa dari karyanya menjadi Best Seller. Karena memiliki kenangan masa lalu yang pahit untuk dilupakan, Ia tertarik menuliskan kisah dan kenangan hidupnya un...