4. Kabar dari Jakarta

4.3K 504 13
                                    

Bandung, 2 Maret 2017.

Setelah kepergian Abang, kami sekeluarga pindah ke kota Bandung. Saat itu Papa meminta untuk dimutasi ke kantor cabang di kota ini. Kami disini tinggal bersama dengan Ninik. Ninik atau umumnya biasa disebut Nenek merupakan ibu dari Mama yang asli mojang Bandung.

Kepindahan kami membuatku melanjutkan sekolah dan kuliah di kota paris van java. Kegiatanku setiap hari nya sangat monoton. Dua tahun yang lalu aku bekerja sebagai Editor disalah satu penerbit mayor dan terkenal. Tetapi aku memutuskan untuk Resign jadi beginilah kegiatanku.

Berawal dari mengisi kekosongan waktu saat masih ambil rehat beberapa bulan sebelum apply untuk pekerjaan baru, nyatanya aku tak bisa lepas dari sastra sepenuhnya. Aku menuliska cerita cinta disalah satu komunitas menulis. Ternyata banyak juga yang mengikuti ceritaku.

Berbekal sebagai mantan karyawan alias editor di penerbit mayor tentu saja kugunakan kesempatan itu untuk berelasi kembali dengan penerbit yang dulu mempekerjakanku. Tentu saja itu sangat membantu. Semua itu berlanjut sampai sekarang, sampai aku menjadikan kegiatan menulis ini menjadi sumber penghasilan utama.

Kembali keseharianku, hampir setiap hari aku hanya menghabiskan waktu di rumah bersama Mama dan Ninik. Anak rumahan kalau menurut istilah sekarang. Mendengarkan cerita mereka, memasak bersama, juga untuk menulis cerita yang masih dalam proses penulisan.

Jika dipikirkan hidupku ini seperti orang tak bergairah, tak berambisi dan tak suka tantangan. Akupun sadar, sejak beberapa tahun lalu aku merasa bahwa kepribadianku berubah. Sebelumnya aku juga bukan orang yang supel, tetapi tidak pendiam dan introvert seperti ini.

Bagiku hidup tanpa membuat kedua orangtua sedih itu sudah cukup. Tidak menyusahkan keluarga juga termasuk sesuatu yang cukup untukku. Padahal aku bisa saja menghabiskan waktu untuk ambil S2, travelling atau kegiatan lainnya yang bisa meng-updgrade diri. Kegiatan yang lebih bermanfaat untuk mengisi kekosongan waktu. Karena sebagai penulis waktu yang kupunya sangat fleksibel dan sepertinya sangat banyak waktu luang.

Mengenai keluargaku apakah mereka mengalami perubahan juga sepertiku? Bisa dibilang iya, Mama mengalami depresi berat saat kepergian Abang. Ada dalam pengawasan psikiater selama 3 tahun. Hal inilah yang menjadi alasan utama kami sekeluarga untuk meninggalkan Jakarta. Mencari suasana baru untuk kami dan membantu Mama untuk pulih. Semua hal yang mengingatkan Mama dengan Abang membuatnya sedih.

Mama selalu menyalahkan dirinya atas semua ini. Beliau sangat terpukul atas kejadian itu. Karena menurut Mama satu-satu nya orang yang bisa mencegah kejadian itu hanya dirinya.

Selama jiwanya terguncang kehidupanku jadi berbeda. Aku kehilangan sosok Mama, Beliau menjadi orang yang dingin, seperti tak tersentuh. Perhatiannya tidak seperi dulu. Aku tidak bisa mendekatkan diriku dengan Mama. Mama selalu menghindar membagi rasa sakitnya denganku. Keluargaku tidak hangat seperti dulu. Kami menyimpan semua perasaan kami masing-masing. Tidak adalagi berbagi cerita mengenai hari-hari yang kami lewati. Kami seperti orang lain yang tinggal dalam satu rumah dengan label ikatan keluarga.

Terlebih saat itu, aku juga baru memasuki masa remaja. Sebenarnya saat itu banyak sekali yang ingin kubagi dengan Mama. Aku tidak punya teman untuk berbagi. Saat itu di sekolah yang baru aku tidak punya teman dekat. Semua nya hanya sekedar teman yang kukenal di sekolah saja. Jika benar-benar merasa sepi aku akan menelpon Yuri, sahabatku hingga berjam-jam lamanya. Untuk sekarang syukurnya Mama sudah pulih. Tetapi tak banyak merubah keadaan yang sudah terbentuk.

Dalam diam aku tahu, Mama masih sering bersedih dan melamun. Kami semua memaklumi keadaan itu terlebih Papa. Mama menjadi orang pendiam dari sebelumnya. Dulu Mama termasuk seorang Ibu yang ceriwis, suka bersosialisasi dan punya banyak teman. Walaupun keadaannnya berbeda tetapi Mama tidak meninggalkan tanggung jawabnya untuk mengurus keluarga kami walaupun juga dibantu oleh Ninik.

Setelah waktu makan malam kami biasa berkumpul di ruang keluarga. Menonton acara televisi primetime bersama. Kebiasaan ini sudah terjadi dari aku masih kecil. Bedanya sekarang tidak adalagi canda dan obrolan hangat. Hanya sebatas berkumpul melihat acara televisi yang sedang tayang.

"Papa dapat kabar dari Eyangti siang tadi, kalau Eyangti sakit lagi," ucap Papa memecah keheningan kami.

Kami semua terdiam mendengarkan. Eyangti ini Ibu dari Papaku.

"Papa bingung, Eyangti hanya berdua dengan Riesa disana dan Riesa sibuk," lanjutnya.

Dalam hati aku berkata, tidak mungkin Papa mau mengajak kami tinggal di Jakarta lagi.

"Apa kamu mau Ren kalau tinggal sama Eyangti dan Riesa disana? Riesa bilang dia sibuk dan nggak tenang meninggalkan Eyang bekerja dengan keadaannya sekarang. Setidaknya sampai kesehatan Eyang membaik. Setelahnya terserah kamu mau balik ke Bandung atau disana saja," tanya Papa.

Aku dan Mama saling berpandangan. Bingung, karena sebenarnya aku nyaman saja dengan keadaanku sekarang tinggal disini bersama keluargaku. Tetapi Eyangti disana juga butuh teman terlebih sekarang beliau sedang sakit. Pembicaraan malam itu terhenti. Akupun tak langsung menjawab. Papa tidak memaksa aku untuk menjawab segera.

Ketika ingin tidur masuk notifikasi di ponsel chat dari Kak Riesa.

Kak Riesa :
Ren, Apa kabar? Sehatkan?

Renjana :
Sehat Kak.

Kak Riesa :
Ren bantuin dong please . Om udah ngomong kan ya?

Renjana :
Iya udah kak, nanti dulu ya gue harus izin Mama.

Kak Riesa :
Eh iya, izin sama tante, gue bingung Ren, lembur mulu. Eyang kasihan cuma sama ART. kalau ada lo kan seenggaknya gue lebih tenang.

Renjana :
Iya kak, besok gue babarin.

Kak Riesa :
Ok deh! Good night beb :)

Kuletakkan ponsel dan memandang langit-langit kamar dengan lagu A Thousand Miles Vanessa Carlton yang sedangku putar. Kembali teringat akan kondisi Eyang, biar bagimanapun aku menyayanginya. Sambil memikirkan siapa lagi yang bisa menggantikanku jika aku tak bisa membantu.

Tidak ada! Tidak ada kandidat lain selain diriku. Tanteku ibu dari Kak Riesa ikut dinas suaminya ke Lampung. Riema adik Kak Riesa sudah menikah dan tinggal di Jogja. Rieza adik bungsu Kak Riesa juga sudah menikah dan masih aktif bekerja. Maka dari itu hanya Kak Riesa lah yang bisa menjaga Eyang di Jakarta. Rasa takut menggelayuti benakku untuk kembali ke Jakarta, aku takut teringat masa kecilku bersama keluargaku yang utuh.

Karena janji untuk mengabari ku beranikan diri bertanya ke Mama mengenai permintaan Papa. "Ma, gimana boleh Iren tinggal di Jakarta?" tanyaku.

"Ren, Nggak apa kalau kamu mau disana temani Eyang. Mama tahu bagaimana keraguan kamu. Tapi coba pikirkan Eyang saja."

"Maaf ya Ren, harusnya Mama yang disana bantu urus Eyang. Tapi Mama belum bisa, maaf" jawab Mama dengan raut sedih.

Aku memeluk Mama. Entah kenapa membuat kami berdua terisak bersama. Tanpa harus dikatakan kami tahu bagaimana perasasan masing-masing. Aku tahu Mamaku belum sepenuhnya move on kalau menurut istilah sekarang.

Kejadian 12 tahun silam seharusnya tidak menghalangi langkahku untuk kembali ke rumahku sendiri. Aku putuskan untuk mencobanya. Terlebih Eyangti membutuhkan kehadiranku untuk membantunya melewati rawat jalan untuk penyakit yang sedang diderita. Keadaan ini lebih mendesak daripada memenangkan keegoisan yang ada di diriku. Semoga keputusan ini tidak salah, niatku hanya untuk membantu Eyang dan Kak Riesa.

Reminiscent (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang