42 • heal

507 65 4
                                    

"Taehyung kembali!"

Suhyun terpenjat, ia berdiri dari tempatnya dengan kedua mata terbuka lebar. Begitu yang dikatakan Jimin ketika jam istirahat.

"Serius?"

Jimin mengangguk dengan semangat. "Kabarnya akan sampai besok pagi. Operasi sudah selesai, ia ditangani dengan baik."

"Syukurlah," Suhyun bernafas lega. Namun kelegaannya itu tak sebanding dengan rasa kekhawatirannya. Andai Heera mendengar kabar ini, mungkin Heera juga ikut senang. Tapi saat ini Heera tak bersamanya.

Kalian ingin tahu dimana Heera berada?

Ia diisolasi karena kondisi mentalnya semakin tak terkendali. Semua ini terjadi semanjak Heera mulai menyadari ada yang berbeda dengan tubuhnya.

"Suhyun, aku kenapa?"

Suhyun menoleh dengan cepat. "Kenapa? Ada yang sakit?"

Heera menggelengkan kepalanya. "Justru aku tidak bisa merasakan itu lagi. Akhir-akhir ini aku tidak merasakan apapun pada kulitku."

Suhyun membulatkan matanya. Ia tahu kenapa Heera merasakan hal itu, tapi tentu ia tidak bisa memberitahunya. Suhyun dengan cepat memberi tahu kabar ini pada Mino.

Semakin hari Heera merasakan keanehan pada tubuhnya. Heera berpikir, apakah ini efek dari operasinya waktu itu? Tapi kenapa efeknya sampai seperti ini. Hari berikutnya, Heera tidak sanggup bangun dari tempat tidurnya. Ia kebingungan, apakah ia semakin lemah?

Mino membawanya ke rumah sakit dan Heera ditangani oleh dokter. Ditemani Mino, Heera mendengar fakta bahwa ia lumpuh. Dokter berusaha menjelaskan bahwa kelumpuhan masih bisa disembuhkan. Tapi Heera sudah diselimuti emosi yang membara. Ia bahkan menancap tangannya dengan bolpoin milik dokter itu.

Menyadari kondisi Heera yang sudah menggila karena tersulut emosi, dokter mengirimnya ke rumah sakit yang untuk sementara bisa menanganinya.

Di sinilah Heera, ia duduk dengan lemas. Ruangan kosong yang hanya berisi satu ranjang dan cermin yang begitu besar. Heera memandangi cermin itu sejak tadi. Ia menggerakkan kursi rodanya, mendekari cermin itu dan menyentuh wajahnya yang ada di pantulan cermin.

"Aku tidak gila kan? Aku tidak gila."

Nafasnya tercekat. Ia melihat bayangan ibunya yang penuh luka dan juga orang-orang yang pernah hampir ia lukai. Kecelakaan itu juga lewat dalam pikirannya. Semua bayangan itu seolah-olah menjadi layar film melalui cermin itu.

"Ah!! Aku tidak gila! Tidak!" Heera menjerit dengan begitu keras. Tak lama setelah jeritannya, 2 perawat bebaju hijau masuk dan siap untuk menyuntikkan obat penenang untuk Heera.

Heera sempat meronta dan mengatakan ia tak membutuhkan itu. Jika ia bisa menggerakkan kakinya, mungkin ia bisa menendang 2 perawat itu. Karena tak ada pilihan lain, ia membenturkan kepalanya dengan keras ke kepala perawat yang akan menyuntiknya.

Perawat itu merintih kesakitan dan tersungkur karena pusing. Suntik itu sempat jatuh, Heera menggerakkan kursi rodanya untuk melindas suntik itu. Tapi sebelum ia berhasil, kursi rodanya ditahan oleh satu orang perawat di belakangnya.

"Tenanglah, kami akan menyuntikmu dan kau bisa tidur setelah ini."

"Kalian menyuntikku karena aku gila kan?!" bentak Heera.

Perawat itu tidak menghiraukan. Ia menahan Heera dengan kuat, sementara perawat lainnya sudah mengarahkan suntik itu pada tubuhnya. Heera tak kuat untun meronta pergi. Obat itu berhasil disuntikkan ke tubuhnya.

TRAUMA | kth ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang