39 • end

645 72 3
                                    

          Pagi ini Heera bisa tersenyum lebar, karena akhirnya ia bisa bebas dari kurungan berbau obat yang benar-benar menyebalkan.

          Mino sedang melipat baju-bajunya ke dalam tas. Sementara Heera hanya duduk di atas ranjang sembari melihat semua pergerakan Mino. Seorang suster masuk ke dalam ruangan Heera saat Mino masih membereskan barang.

          Suster itu akan memerika keadaan Heera sebelum Heera benar-benar meninggalkan rumah sakit. Setelah memberikan banyak nasihat, suster itu pergi meninggalkan mereka.

          "Huf, kenapa obat yang harus aku minum banyak sekali?"

          "Supaya kau cepat sembuh," jawab Mino dengan singkat. Ia sudah dengan baju-bajunya.

          Ia berdiri sembari menenteng tas itu ditangan kanannya, kemudian menghampiri Heera dan memberikan isyarat agar Heera menggenggam lengan kirinya saat berdiri. Heera paham. Ia menggenggam lengan kiri Mino sebelum akhirnya berdiri dan berjalan dengan perlahan.

          "Sampai di rumah, aku akan membuatkan makanan untukmu, lalu minum obat, setelah itu istirahat."

          Heera melirik Mino. "Sejak kapan kau jadi terlalu perhatian seperti ini?"

          "Karena kau sedang sakit, Heera. Lagipula kau pasti tidak akan meminum obat jika aku tidak mengingatkanmu."

          "Itu hanya karena aku pelupa."

          Mino memperlakukan Heera dengan lembut. Dokter menyarankan agar beberapa hari kedepan, Heera tak melakukan pergerakan yang cukup berat. Karena luka jahitannya yang belum mengering.

          Heera tahu soal luka jahitan di punggungnya. Itu juga awalnya karena ia merasakan sakit di bagian sana, lalu Mino yang memberitahunya bahwa ada luka jahitan di sana. Tapi Mino tak mengatakan mengapa punggungnya harus mendapatkan luka itu.

          Karena begini, jika Mino mengatakannya, ia bisa saja akan membuat Heera kecewa. Karena setelah proses yang dia lalui sampai adanya luka jahitan tersebut, hasil yang diperoleh tidak cukup memuaskan. Tapi kalau ia tak segera mengatakannya, Heera akan jauh lebih kecewa nantinya.

          Saat ini Mino masih diambang kebingungan. Ia tak tahu pilihan mana yang paling tepat.

          "Oppa? Oppa!"

          Mino terpenjat. "Hah? Apa?"

          "Kau melewatkan rumah."

          Mino menghentikan mobilnya secara mendadak. Ia melihat ke kanan dan ke kiri. Benar saja, ia baru saja melewati rumahnya sendiri. Hah, karena terlalu banyak berpikir ia sampai lupa rumahnya sendiri.

          "Memikirkan apa sih?"

          "Tidak ada. Hanya sedikit lelah."

          Bukan Heera jika ia percaya begitu saja. Ia memang terlihat tidak mempedulikan jawaban yang kurang meyakinkan itu, tapi sebenarnya ia memikirkannya.

          "Sebenarnya kenapa? Sejak hari itu oppa sangat berbeda," batin Heera.

          "Sudah sampai!"

Mino mematikan mesin mobilnya dan keluar dari dalam mobil. Sementara Heera masih terdiam. Ia tahu Mino menyembunyikan sesuatu. Ia juga tahu Mino memasang topeng saat ini.

Pintu sebelah kanan terbuka dari luar. Heera menoleh dan mendapati Mino sudah berdiri di sampingnya. "Tidak mau keluar?"

Heera berkedip menatap wajah Mino untuk beberapa saat. Sepertinya ia harus menahannya entah sampai kapan. Ia menghela nafas dan menganggukkan kepalanya.

TRAUMA | kth ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang