37 • withstand

720 80 5
                                    

          Api. Hanya itu yang selalu terngiang-ngiang dipikiran Heera. Setiap kali ia melihat sesuatu, ia akan teringat api.

          Contohnya saja, ketika ia tengah berjalan dengan santai di atas trotoar. Ia tentu saja harus melihat jalanan agar langkahnya tidak salah. Justru karena harus melihat jalanan itu, otomatis ia memandangi beberapa kendaraan yang lewat.

          Ia pernah memimpikan sebuah kecelakaan hebat, yang berujung pada api. Heera sendiri bingung, kenapa akhir-akhir ini ia sering sekali bermimpi tentang api dan api.

          Ia sudah bertanya pada Joojin dan melakukan konsultasi lagi. Joojin bilang, mungkin itu karena Heera yang terlalu memikirkan tentang api itu. Jadi Heera akan terus teringat, sampai terbawa mimpi.

          Benar juga yang dikatakan Joojin. Tapi Heera bersikeras, ia yakin bukan hanya itu saja.

          Mungkin kalian boleh mengatakan Heera terlalu pecaya diri. Karena saat ini Heera yakin, firasatnya tak pernah salah.

          "Ayo ikut aku."

          Heera tersentak dari lamunannya. Sejak tadi ia hanya menatap kosong ke arah televisi yang menyala.

          "Salon. Kau harus merapikan rambutmu."

          Heera mengerutkan keningnya. "Ada apa dengan rambutku? Aku pikir ini belum terlalu panjang."

          Mino menghela nafas. Ia mendekati Heera dan meraih beberapa helai rambut panjang milik adiknya. "Lihat," Mino menunjukkan bagian rambut Heera yang mengganggu penglihatannya. "Sebenarnya rambutmu ini panjang atau pendek?"

          Heera menoleh dan melihat apa yang ditunjukkan Mino. Ia baru sadar, rambutnya semakin tidak karuan belakangan ini. Itu karena ia yang secara tidak sadar menggunting rambutnya karena kesal.

          "Kalau penampilan rambutmu saja seperti ini, semua orang takut bertemu denganmu."

          "Siapa juga yang akan memerhatikan rambutku sedetail itu?"

          "Sudahlah. Cepat ganti baju sana, aku juga ingin mengganti warna rambutku."

          Heera melirik rambut kakaknya yang berwarna kuning terang. "Ingin ganti warna apa? Hijau? Atau pink sekalian?"

          Mino terkekeh. "Dulunya aku ingin warna biru. Tapi karena aku sudah bekerja, lebih baik aku ganti warna hitam saja."

          "Akhirnya kau sadar warna rambutmu itu norak."

          Setelah mengatakan itu, Heera beranjak dari tempatnya. Meninggalkan Mino yang terpaku sampai memegangi rambutnya karena kalimat terakhir Heera. Benar-benar langsung mengenai hati.

          "Tajam sekali lidahnya," gerutu Mino.

          Tak perlu waktu lama, Heera sudah siap dengan pakaiannya yang lebih rapi, tapi masih memberikan kesan santa. Ia hanya mengenakan sweater putih dan hot pants yang sedikit longgar di pahanya. Sejujurnya, celana yang ia gunakan tidak sebesar itu. Ia rasa pahanya semakin mengecil.

          "Sudah? Apa tidak ingin mengambil apapun di kamar?"

          Heera mengangguk. "Ayo berangkat."

          Mino sudah memanaskan mesin mobilnya sejak beberapa menit yang lalu. Ia sudah membuka pintu mobilnya, kemudian duduk pada bangku setir. Ketika ia hendak memasang sabuk pengamannya, ia terhenti karena pekikan Heera.

          "Aku melupakan ponselku."

          Mino menghela nafas. "Cepat sana, ambil."

TRAUMA | kth ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang