Telepon berdering.
Alsa meraih benda berisik yang tengah membangunkan tidur nyenyaknya. Nama Elvan tertera jelas di layar handphonenya. Gadis itu mengusap kedua bola matanya terlebih dahulu dan segera me-reject panggilan dari Elvan. Ia segera mengirimkan pesan singkat,
"Aku siap-siap dulu ya"
Alsa membasuh wajahnya dengan air segar di pagi hari. Cuaca pagi ini lebih dingin dari biasanya. Semoga langit bersahabat pagi ini. Ia pun mengambil jaket tebal yang sudah ia siapkan sejak tadi malam sebelum tertidur. Lalu tangannya kembali memainkan handphonenya.
"Jemput yaa Van" pinta Alsa yang berbicara lewat telepon.
"Kapan?" tanya Elvan polos
"Ya sekarang atuh masa nanti sore..."
Tak sampai sepuluh menit, Elvan dan Gilang sudah sampai di halaman depan. Perlengkapan seperti kamera dan drone sudah lengkap, Alsa ikut bersama dengan Elvan. Pagi buta saat itu, matahari pun masih bersenyumbunyi di tempatnya, jalanan masih sangat sepi sekali dan basah karena diguyur hujan sepanjang malam. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kuning berkilauan di sepanjang jalan. Ini masih gelap, pagi buta menuju fajar. Tiga manusia itupun mulai memasuki daerah pegunungan yang semakin dingin. Alsa baru menyadari, pria yang duduk di depannya ini hanya memakai hoodie satu lapis tanpa jaket tebal seperti yang ia gunakan, padahal pagi ini udaranya sangat dingin ditambah angin sepanjang jalan yang membuatnya semakin menusuk karena kedinginan.
"Van, gak dingin?" Suara Alsa hilang karena angin.
"Apa alsa, yang kenceng dong" Elvan bertanya balik
"Kamu gak dingin?" Alsa pun mengencangkan suaranya seperti sedang berjerit diantara angin kencang.
"Oh, nggak. Aku gak pernah kedinginan" jawab Elvan.
"Ah masa sih? Boong lu" Alsa tidak percaya
"Kalo kamu kedinginan, peluk aja gapapa"
Alsa kaget mendengarnya, gadis itu mengangkat satu alisnya. Ia merasa sedikit geli. "Modusss..." ucap Alsa pelan, entah itu terdengar oleh Elvan atau tidak. Namun, tangan Elvan meraih tangan Alsa dari depan dan melingkarkannya di pinggang. Entahlah, Alsa hanya terdiam dan mengikutinya. Gadis itupun tersenyum girang sendirian di belakang, berusaha menyembunyikan raut wajahnya yang terlalu senang itu.
Setelah 45 menit berkendara melalui jalanan yang sepi, dingin, berkelok, dan menanjak, mereka sampai di lokasi tempat pengambilan gambar. Dari titik mereka berhenti kendaraan tidak bisa lagi digunakan, sisanya harus berjuang dengan berjalan kaki. Penjaga lokasi wisata pun menghampiri tiga manusia yang tengah sibuk melepas helm mereka masing-masing.
"Mau naik ke atas mas mbak?" tanya si bapak penjaga dalam bahasa Jawa yang halus.
"Nggih pak" Elvan menajwab dengan sopan sambil membungkukan tubuhnya.
"Hati-hati, jalannya licin, semalem habis diguyur hujan. Ini juga masih gerimis..." jelas si bapak penjaga
Elvan, Alsa, dan Gilang mengangguk tersenyum sembari membungkukkan badan mereka. Ketiganya pun segera berbagi tugas membawa alat. Alsa hanya kebagian membawa tripod, sedangkan Elvan membawa kamera yang siap ia gunakan kapan saja, dan Gilang membawa tas yang berisi perlengkapan drone.
Meskipun diguyur hujan rintik, mereka tetap bersemangat melakukan perjalanan. Jarak yang ditempuh barangkali sekitar 1,5 km untuk menuju puncak bukit yang ada air terjun. Dari atas sana katanya bisa melihat sunrise, tapi mereka tak begitu yakin dengan cuaca saat ini. Gilang berjalan diurutan paling depan, Alsa di tengah, dan terakhir Elvan karena ia akan sering berhenti untuk memotret beberapa spot-spot cantik yang ia temui di sepanjang perjalanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
WALLFLOWER
Romance"a person who, because of shyness, unpopularity, or lack of a partner, remains at the side at a party or dance. any person, organization, etc., that remains on or has been forced to the sidelines of any activity: The firm was a wallflower in this ye...