Semalaman Alsa tak bisa tertidur. Ia hanya memejamkan matanya namun pikirannya melayang, selalu teringat kejadian konyol yang menimpanya barusan. Beberapa jam yang lalu. Tapi, aneh baginya. Ia tidak bisa marah, yang terjadi adalah dirinya yang tak bisa berbuat apa-apa karena jantungnya berdegup terlalu kencang. Alsa hanya menenggelamkan tubuh mungilnya ke dalam selimut. Entahlah apa yang sebenarnya ia rasa sepanjang malam sunyi ini. Mendadak ia punya beribu-ribu pertanyaan yang siap ia lontarkan kepada Elvan.
Apa maksudnya?
Bagaimana bisa?
Elvan kenapa sih?
Oh Tuhan... Apa ini?
Gadis itu bergidik merinding. Lalu ia teringat akan sesuatu yang membuatnya semakin bergidik. Arghhh. Jantungnya semakin berdegup kencang mengingat hal itu.
Demi Tuhan. Gak mungkin, Gadis itu menggelengkan kepalanya cepat
Gak mungkin kan?
Masa sih aku suka sama Elvan...
Demi apapun gak. Gak akan mungkin. Cowok aneh itu. Hih...
Awas aja kalo sampai suka. Dia harus tanggung jawab. Seorang Alsa gak mungkin bisa ditaklukan semudah itu!!
Jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Matanya masih sesekali terbuka namun terkadang juga ia paksakan terpejam. Padahal ia masih dihantui oleh bayang-bayang wajah Elvan. Sialan anak itu! Ia akhirnya bangkit dari tempat tidurnya. Bergegas untuk mandi agar tubuhnya segar kembali. Masih ada waktu beberapa jam untuk bertemu Elvan, meminta penjelasan, sebelum ia harus pergi ke bandara.
Pukul 08.00, seperti biasa. Di restaurant, keadaan mulai sedikit sepi karena semua peserta sudah memasuki ruang kegiatan. Alsa duduk sendirian, ia masih seperti kehilangan separuh kesadarannya. Betapa ia bisa dibikin sebodoh itu oleh seorang Denova Rize Elvandra. Ia bahkan belum menyentuh makanannya sama sekali, hanya meneguk air putih sesekali. Hingga lamunan kacaunya itu dibuyarkan oleh seorang pria berkaus hitam yang tiba-tiba duduk di hadapannya, menatapnya ragu dengan mata sayu. Ya kelihatannya pria itu juga mengalami kesulitan tidur semalam. Alsa masih diam, pipinya memerah padahal tak ada hal apapun yang terjadi, tapi entahlah jantungnya kembali berdegup kencang. Ia seperti bongkahan batu yang membeku, dingin dan keras.
"Pulang jam berapa?" Elvan bertanya pelan. Pria itu juga terlihat gugup, matanya tak melihat gadis dihadapannya. Mungkin juga jantungnya sedang berdetak tak karuan tapi ia berusaha menahannya. Mereka sama-sama berusaha melupakan kejadian tadi malam.
"Jam 1" Asla pun menjawab datar tanpa menoleh lawan bicaranya.
Pria itu memberanikan diri melihat Alsa yang tetap memalingkan wajahnya. Lalu, ia tersenyum seperti biasanya
"Udah packing Al?"
"Aku packing dulu" Alsa langsung meninggalkan Elvan sendirian di meja makan. Ia memberanikan dirinya untuk lari dari hadapan pria yang membuatnya gelisah. Gadis itu berjalan cepat, takut barangkali Elvan juga menyusulnya di belakang.
Selama di kamar, Alsa tidak langsung membenahi barang-barangnya. Ia duduk diam di atas kasur. Dirinya masih tak bisa lepas dari bayang-bayang kejadian tadi malam. Demi Tuhan! Ini seperti kutukan! Gadis itu benar-benar tak bisa melupakannya.
Harus gimana dong? Masa selalu datang sih..
Elvan kayak gini juga gak ya? Apa Cuma aku?
Sialnya, kesempatannya untuk melontarkan rasa penasarannya tadi tak bisa ia gunakan dengan baik. Ia terlalu lemah untuk bertanya dan tidak siap dengan semua jawaban yang akan didengar.
Di lobby hotel, entah takdir atau bagaimana. Dua anak manusia itu kembali dipertemukan. Alsa hanya melihatnya tanpa menegur, begitu juga Elvan. Saling bertatapan tanpa bicara namun seperti mengisyaratkan sesuatu. Alsa menoleh ke belakang, ia hanya melihat Elvan berjalan lurus tanpa menolehnya sedikitpun. Entahlah rasanya ada sedikit kekecewaan terselip di hati kecil.
Selama perjalanan pun ia masih tak bisa terlepas dari bayang-bayang kejadian tadi malam. Jemarinya gatal untuk segera menghubungi Elvan tapi terlalu gengsi untuk dilakukan. Ia harus mencari cara agar dapat menghilangkan rasa penasarannya yang sudah sebesar gunung itu.
Argghh! Lupain Elvan Lupain lupain lupain!!!
Jangan ingat, jangan ingat!!
Arghhh! Dasar Manusia!!
Tanggung jawab!!!
Kiranya itulah yang ia bisikkan kepada dirinya selama di dalam perjalanan pulang. Walaupun lelah karena belum tidur seharian ia tetap tak bisa memejamkan matanya dengan tenang. Selalu ada bayangan itu ketika ia memejamkan matanya.
Harusnya sih dia juga begini. Harusnya sih bukan cuma aku aja. Gak adil kalo cuma aku sendirian yang nanggung~
------------------------------------------
KAMU SEDANG MEMBACA
WALLFLOWER
Romansa"a person who, because of shyness, unpopularity, or lack of a partner, remains at the side at a party or dance. any person, organization, etc., that remains on or has been forced to the sidelines of any activity: The firm was a wallflower in this ye...