31. Dari Hijau ke Putih

16 2 0
                                    

Pukul sebelas malam, ia baru saja keluar dari garbarata. Kali ini kakinya melangkah lebih cepat, terburu-buru mengejar flight berikutnya. Matanya sangat berat sekali, sudah berontak untuk terpejam karena kelelahan. Namun, ruang tunggu berikutnya harus segera ia capai. Seperti sedang beradu peperangan dengan pergolakan nafsunya yang hanya ingin tertidur, kepalanya terasa ringan seolah tak ada satu benda pun di dalamnya. Sebuah pertanyaan menyebalkan pun muncul dibenaknya, kenapa bandara luas banget sih? Kakinya sudah terlampau lelah karena gerakan cepat yang ia lakukan sejak keluar dari pintu pesawat. Tapi, demi melihat Bandara Haneda tempat transitnya nanti ia berjuang untuk sampai. Begitulah caranya menyemangati diri untuk hal-hal kecil yang akan ia lihat.

Gadis itu menghela berat, akhirnya terduduk juga di kursi pesawat, tepat sekali ia duduk dekat dengan jendela, tempat favoritnya ketika pergi sendirian menggunakan transportasi udara. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, kebingungan dengan satu hal yang melayang di atas kepalanya sejak pergi meninggalkan kota hujan kesayangannya. Rasanya kebingungan itu sudah mengganda menjadi sebuah ketakutan dalam dirinya. Takut tidak bisa melakukan banyak hal, takut barangkali saja ini menjadi perjalanan terakhir kali baginya, takut tak sempat mengucapkan terima kasih dan maaf, takut tak pernah kembali lagi setelah ini. Entahlah, ia selalu diselimuti oleh rasa ketakutan luar biasa seperti itu. Tak ada teman untuk bercerita, hanya deru mesin pesawat yang membawa seisi penumpang menuju negeri matahari terbit dan dinginnya udara di dalam pesawat.

Beberapa saat setelah ia menghabiskan makanannya, gadis itu segera ke toilet untuk melakukan ritual rutinnya sebelum tidur yaitu, gosok gigi. Lalu sebelum tidur, ia tiba-tiba saja teringat akan kejadian lucu tadi saat sebelum boarding. Gilang, Lala, dan May mendadak meneleponnya dan dengan wajah ceria mereka mengantarkan dirinya untuk pergi jauh. Jauh sekali meninggalkan tempat tinggalnya. Gadis itupun berdo'a memohon kepada Tuhan-nya, tolong beri mereka kebahagiaan dan jaga selalu mereka dalam kebaikan. Selama ini, dia selalu sendiri. Tapi, ia senang ada beberapa orang yang mampu bertahan, mengerti, dan menerimanya apa adanya.

Kau harus tahu, menjadi sendiri bukan suatu perkara yang sangat menakutkan seperti yang ada dalam bayangan kita selama ini. Menjadi sendiri ternyata pilihan yang baik untuk seorang Riene Oktriasanabila. Menjadi sendiri adalah dunianya. Meskipun, ketakutan selalu berkecamuk dalam dirinya. Hanya saja, ia sudah terbiasa melakukannya, sehingga ia tahu bahwa rasa takut akan datang silih berganti dengan jenis ketakutan yang berbeda selama hidup.

Pagi hari kemudian ia terbangun dari tidur yang tak begitu nyenyak karena dingin yang sangat menusuk. Bagaimana bisa seorang manusia yang tak tahan dingin ini akan berkecimpung ke tempat yang sangat dingin. Ia menggigil kedinginan sambil meremas buku-buku jemarinya yang mulai memerah. Ia sudah meminta selimut tambahan kepada pramugari namun dingin itu tetap tidak mau kalah.

Menyerah saja dengan tetap memejamkan mata.

Akhirnya pada pukul 9 waktu Tokyo. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia menginjakkan kakinya di negeri matahari terbit. Ini baru permulaan, belum ada apa-apanya. Beruntung bandara memiliki mesin penghangat, gadis itu sangat terselamatkan. Atmosfirnya memang sangat berbeda. Sekarang waktunya mencari gate berikutnya untuk penerbangan terakhir dalam perjalanan kali ini. Ia benar-benar tak sabar dengan pemandangan dataran putih penuh salju, walaupun ia sedikit takut tubuhnya tidak kuat menahan dingin. Tapi, ya sudahlah ya...

Pukul 13.00 waktu Sapporo, hatinya sangat gembira sedetik sebelum keluar dari bandara untuk menemui buddy yang sudah menunggu kedatangannya. Gadis itu sangat girang sekali sampai lupa mengecek suhu di luar. Meski pakaiannya sudah berganti menjadi pakaian tebal khas musim dingin ia seharusnya lebih tahu dulu dengan cuaca di luar sana agar tidak shock. Pintu terbuka, orang-orang ramai berjejer, barangkali sedang menunggu kedatangan yang sudah mereka nanti-nantikan.

Astaga dingin sekali!!! Pekiknya dalam hati seraya menahan dingin yang langsung menusuk, terutama pada telapak tangannya yang tidak dialasi sarung tangan. Matanya melirik dari ujung kanan hingga ujung kiri. Ah! Itu dia.

Seorang gadis yang sama tinggi dengan dirinya, berkacamata namun matanya lebih sipit. Perempuan di dibalut jaket tebal berwarna cokelat tua dengan payung yang ia gandeng dan selembar kertas berisikan nama "Riene Oktriasanabila". Dia adalah Akane. Seorang buddy yang akan menemani Alsa selama beberapa hari ke depan. Mereka berpelukan seperti sudah saling lama mengenal. Lalu, segera pergi menuju arah stasiun. Perjalanan ini sudah begitu menguras tenaga yang teramat sangat. Perutnya kosong belum terisi lagi sejak penerbangan terakhir menuju Kota Sapporo.

Tiba-tiba saja handphonennya berdering, ah!

"Elvan aku udah di Sapporo. Mau ke penginapan" gadis itu memberi tahu tanpa dipinta

"Sama siapa?"

"Ada buddy, namanya Akane. Dia cantik.."

"Oh baguslah. Kapan kamu akan mempersentasikan karyamu?"

"Besok lusa van"

"Aku ingin lihat"

"Jangan! Plis jangan dilihat"

"Kenapa?"

"Nanti aku gugup"

"Ada-ada saja. Nanti kalau ada waktu aku mampir"

"Kamu pasti menyesal"

"Menyesal atau tidak kan itu urusanku"

"Hahaha. Ternyata benar, di sini dingin sekali"

"Sudah ku bilang kan...."

"Ya sudah nanti kalau sampai aku kabarin"

"Okay"

Sambungan terputus.

Pukul 15.30 sore waktu Kota Sapporo telah tiba. Dataran putih seperti dalam bayangannya selama ini memang benar adanya. Hanya beberapa detik saja ia memperhatikan lingkungan sekitarnya, udaranya sangat dingin berkali-kali lipat dari yang pernah ia rasakan, sisanya ia segera berlari kecil, masuk ke dalam gedung agar dapat menghangatkan diri. Pelayan hotel itu menyuguhkan minuman hangat yang mungkin itu adalah teh khas Jepang. Rasanya hambar ketika air itu masuk menyentuh langit-langit mulut namun sudah lebih dari cukup untuk menyambut dirinya dikala musim dingin.

"Your roommate came first. Here is your room card. contact me if you need anything" Akane menyodorkan sebuah card berwarna biru kepada Alsa.

Gadis itu mengangguk cepat sembari mengambil kartu miliknya yang kemudian ia pandangi secara detail.

"let's go!" ajak Akane

Dua perempuan itu beranjak menuju kamar Alsa yang berada di lantai enam. Setelah mengantar Alsa sampai ke depan pintu, Akane pamit untuk kembali ke ruangannya. Alsa merasa sedikit kaku Ia mengetuk pintu kamar sebelum masuk. Padahal tidak ada hal aneh apapun yang terjadi, tapi selalu saja ketakutan menyelimuti jiwanya. Perempuan yang tengah duduk di kasur sambil menonton acara tv itu tersenyum kearahnya. Lagi-lagi perempuan bermata sipit.

"Hey! Finally" Ucapnya girang sambil tersenyum lebar

"You're Riene?"

"Yes! But please call me Alsa"

"Al-Alusa?"

"Hmmm. Alsa.."

"Al-lu-sa" ulangnya dengan pelafalan yang sama

"Oke, no problem" Alsa tertawa.

"I am Indonesian, you??

"Ah.. I am Celine from Hongkong"

"Nice to meet you Alusa"

"Nice to meet you too Celine"

Alsa tersenyum lebar, ia segera menanggalkan jaket tebalnya lalu bersiap untuk mandi. Namun, sebuah pemandangan tak terlewatkan begitu saja. Tiba-tiba salju turun dari atas langit. Butiran-butirannya jatuh bersamaan dengan salju yang telah membeku di atas tanah. Indah sekali, ia melihatnya dari balik jendela kamar. Pepohonan kering menambah suasana musim dingin sesungguhnya yang selalu ada dalam bayangan seorang Alsa. Ia tersenyum-senyum sendiri menyaksikan pemandangan itu. Oh Tuhan, mengapa gadis kecil ini begitu bahagia dengan hal-hal kecil....

Masih adakah mimpi besar lainnya? 

WALLFLOWERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang