Segelas susu cokelat dan kopi hangat sudah tertata rapi di atas meja. Elvan memesan minuman untuk melewati malam yang mulai sunyi. Alsa sudah menyelesaikan pekerjaannya, matanya berat dan perih. Mungkin terlalu lama menatap layar laptop.
"Aduh lapar lagi.." Elvan melihat-lihat daftar menu makanan
"Sama.."
"Mie kuah lagi enak kayaknya"
"Aku mau juga dong"
"Jangan"
"Pengen banget"
"Gak boleh"
"Kamu roti bakar aja" Sambung Elvan
Pria itu segera berjalan menuju kasir untuk memesan makanan. Sepuluh menit kemudian, pesanan pun datang. Harum mie kuah memang tak pernah gagal menggoda. Alsa hanya dapat melihatnya dengan mata berbinar sambil menelan air ludah. Elvan yang melihatnya merasa kasihan,
"Yaudah nih, dikit aja" ia menyodorkan mangkuknya dan Alsa pun tersenyum sumringah.
Gadis itu menyeruput kuah mie yang ia idam-idamkan sejak tadi. Ia tak bisa berhenti tersenyum. Elvan terheran-heran dengan tingkahnya. Bagaimana bisa ia tersenyum seperti itu hanya dengan mencoba satu sendok mie instan.
"Nih..." Gadis itu menyodorkan mangkuk
"Udah?Puas?"
"Enggaklah, mana puas satu sendok doang" Alsa menarik piring roti bakar cokelat dan segera menyantapnya.
Jam sudah menunjukkan pukul 1 malam, tapi mereka berdua masih asyik bercengkrama seolah tak kenal waktu. Jalanan juga mulai sepi, diluar sana hanya beberapa manusia lewat untuk kepentingan mereka masing-masing.
"Aku belum pernah semalam ini" Gadis itu melirik jam tangannya
"Mau pulang?"
"Terserah"
"Kok terserah? Aku kan cuma nemenin"
"Yaudah, nanti ya. Udara malam enak" pinta Alsa.
Kini tempat duduk mereka berpindah ke bagian outdoor, menikmati susu dan kopi hangat masing-masing. Elvan hanya tertawa melihat Alsa yang memejamkan matanya, seolah ia tak pernah menghirup udara segar.
"Van.."
"Iya" sahut pria ber-hoddie hitam itu
"Kamu punya keinginan gak?"
"Keinginan gimana?"
"Ya mungkin mimpi pengen ke luar negeri kek, lanjut study atau punya bisnis"
"Ada dong, kan udah kita jalanin bareng-bareng"
"Hah?" Alsa bingung
"Ah pikun banget lu"
Gadis itu menggaruk-garuk kepalanya,"Oh iya lupa, hehe"
"Kenapa tiba-tiba nanya begitu?"
"hmmm.."
"Aku capek banget Van.."
"Setiap hari selalu aja ada kerjaan, ada deadline, belum lagi harus seimbangin kuliah. Tapi, waktu aku liat keseharianmu kayaknya enak ya, santai"
"Jangan lihat dari luarnya aja" nasihat Elvan
"Iya, ngerti. Tapi, maksudnya.."
"Kamuitu bisa ngadepin apapun dengan tenang dan santai. Aku selalu ngerasa setiap hari seperti diburu-buru"
"Yaudah jangan di buru-buru"
Alsa memanyunkan bibirnya, "Andai ya, hidup gak morat-marit gini"
"Kamu itu pinter Al, punya skill yang gak dipunyai oleh banyak orang. Di usia yang sekarang udah bisa cari tambahan uang sendiri. Mandiri, apa-apa gak perlu ditemani. Jangan merasa rendah, coba lihat sisi lain dari aku yang masih luntang-lantung dengan mimpinya"
"Orang-orang pingin banget jadi temen lu, tapi kamu disegani karena gak pernah senyum, datar, dan suka ngacangin. Aku beruntung aja bisa ngobrol sampai selarut ini sama lu"
"Itu cuma masalah dalam dirimu sendiri, cuma kamu yang tahu jawabannya"
Alsa terdiam sejenak, hatinya mungkin sudah mati rasa dengan urusan-urusan dunia yang menekan hidupnya. Nyatanya, dia benar-benar tak pandai berkekspresi. Gadis itu bingung bagaimana untuk bercerita. Ujung-ujungnya ia pendam sendiri, ujung-ujungnya ia hanya tersenyum di hadapan dunia.
"Orang memang banyak nilai aku orang yang santai, hidup tanpa beban. Tapi itu cuma prinsip dalam hidup gua. Sebisa mungkin tidak menunjukkan hal negatif ke orang lain. Di dalamnya kan siapa tahu. Aku juga manusia biasa. Aku cuma pengen bebas aja"
"It sounds good! menjadi bebas" Alsa tersenyum dengan dahi yang ia kerutkan
"Bukannya yang kita lakuin sekarang adalah bebas?"
Alsa mengernyitkan dahinya, ia berpikir sejenak, "Iya juga, benar"
"Pasti kamu kesulitan buat cerita ya?"
Gadis itu tersenyum lebar, matanya semakin tak terlihat. Ia mulai goyah dengan kesadarannya. Sesekali ia menguap dengan telapak tangan ia tutup ke mulutnya.
Alsa menggeleng sebentar, "Males. Setiap kali cerita rasanya mungkin gak penting aja bagi orang lain" ucapnya berbohong.
"Makanya aku lebih sering fokus tugas, kerja, impian"
"Tapi kalo butuh teman cerita, akubisa merangkap jadi pendengar yang baik" Elvan segera memotong ucapan Alsa.
Gadis itu tertawa getir, dadanya sudah bergemuruh sejak tadi. Isi kepalanya tetap saja menolak, menolak, dan menolak. Padahal ini tidak sesuai dengan keinginan murni dari dalam hatinya. Wajah yang mulai lusuh itu pun tertunduk. Barangkali takut pipinya terlihat merah merona oleh teman pria yang entah sejak kapan sudah memiliki ruang di hatinya.
"Apa impian lo, dua, tiga, empat, lima, hingga sepuluh tahun ke depan?"
"Bertemu orang yang sama dengan gua. Mencari tahu apa yang tidak diketahui. Hidup tenang dengan penuh kebebasan"
"Buat semuanya jadi lebih spesifik!"
Gadis itu terdiam. Ia melihat Elvan menatapnya tajam. Setengah takut tapi setengah terpesona. Di malam menuju pagi seperti ini ia semakin terlihat berbeda. Semakin sedikit yang bergabung, obrolan bersamanya menjadi sedikit lebih menyenangkan dan sifat menyebalkannya hilang.
"Ada banyak mimpi yang sudah ditulis secara spesifik. Aku gak bisa kasih tahu ke banyak orang. Tapi, mungkin beberapa diantaranya aku butuh bantuanmu"
"Nah gitu maksudnya..."
Alsa bingung dengan ucapannya.
"Jangan melimpahkan semuanya ke dirimu sendiri Al. Kasihan, pasti capek"
"Makanya aku gak pernah capek untuk bilang "kalau ada apa-apa kasih tahu aku ya""
Malam itu obrolan berakhir pukul 02.30 pagi. Alsa sudah merasa kepalanya seperti tertimpa batu, mungkin faktor ia yang harusnya belum boleh bekerja berat dan begadang hingga sepagi ini. Sepanjang perjalanan pulang, motor melaju dengan pelan, menikmati udara dingin di Kota seribu air terjun. Alsa tanpa ragu memeluk Elvan. Dingin sekali rasanya pagi itu. Terserah apa yang ada di dalam pikiran Elvan, yang jelas ia sedikit terselamatkan setelah hari-hari Elvan yang selalu memberikan banyak kejutan.
Hidupnya mungkin masih tak keruan arah. Tapi, ia sudah bisa menegakkan layarnya sendiri. Biarkan....biarkanlah manusia-manusia ini mencari tahu jalan hidupnya sendiri. Jangan salahkan bila salah. Mereka hanya ingin mencoba-coba selagi bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
WALLFLOWER
Romance"a person who, because of shyness, unpopularity, or lack of a partner, remains at the side at a party or dance. any person, organization, etc., that remains on or has been forced to the sidelines of any activity: The firm was a wallflower in this ye...