"Dok, saya boleh pulang gak hari ini?"
"Masih ada keluhan gak?"
"Pusing, mual, muntah?" tanya dokter
Alsa menggeleng cepat.
"Udah sehat dok"
"Tunggu sampai siang ya, kalau udah benar gak ada keluhan lagi, nanti sore boleh pulang" Ucap dokter dengan senyuman manisnya.
Alsa tersenyum sumringah, membayangkan betapa ia akan bebas setelah terpenjara beberapa hari di tempat menyeramkan ini. Separuh jiwanya meloncat-loncat, separuhnya lagi terbaring di kasur.
"Nanti kalau pulang, makannya jangan yang sembarangan dulu ya. Jangan makan pedas, makan yang lembek-lembek dulu"
Alsa mengangguk-angguk. Entah dia benar-benar mendegarkan atau hanya sekedar formalitas untuk menjawab ocehan dokter.
Pukul 4 sore,
Elvan membantu Alsa membereskan barang-barang yang ahrus di bawa pulang. Tidak banyak hanya ada beberapa. Dirinya ikut senang karena temannya semakin membaik setiap hari,
"Lain kali kalo sakit jangan sampe udah mau mati baru bilang" Elvan menceramahi Alsa. Gadis itu hanya tertawa cengengesa, ia meloncat-loncat gembira di dalam ruangan.
"Ini obatnya, simpen"
"Dimakan, jangan disimpen doang" ucapnya berulang
"Hooh hooh" jawab Alsa dengan raut wajah sebalnya.
"Ayo pulang"
Alsa dengan dandanan semerawutnya itu tak peduli lagi dengan orang-orang yang menilai penampilannya. Sore itu, ia keluar dari rumah sakit masih memakai baju tidur bergambar doraemon dengan warna pink cerah. Rambutnya terkuncir acak. Sedangkan, Elvan, dia seperti ayahnya Alsa, persis.
Pukul 8 malam,
Udara segar memang tiada tandingannya. Malam ini tubuh rasanya sudah benar-benar sehat kembali. Saatnya beraktivitas seperti biasa. Gadis itu duduk di pojokkan. Segelas jus alpukat menemaninya malam itu, ia absen dulu dari kopi, takut barangkali sakitnya kambuh. Jemarinya dengan lincah menekan keyboard laptop, tak ada yang bisa menghentikannya. Kenapa rasanya hidupnya seperti hanya untuk urusan pekerjaan?
"Sabtu depan jadwalnya interview maniac" teks pesan itu ia kirim untuk Nata.
Sudah lama sekali rasanya sejak sakit-sakitan semua pekerjaannya terhenti. Kenapa rasanya bahagia sekali bisa bertemu dan bercengkrama dengan laptop? Apa aku sudah tidak waras lagi? Alsa bergumam sendiri, ia mempertanyakan kewarasannya.
Nuansa kafe favoritnya itu sangat nyaman untuk orang-orang introvert sepertinya. Alunan musik yang tidak membuat gendang telinga pecah. Warna cat tembok putih dengan aksesoris lampu kuning. Itu kan lampu untuk menetaskan telur ayam? Betapa bahagianya dia malam itu, padahal sangat sederhana rupanya. Begitulah manusia, mungkin mereka yang terbiasa suka lupa bersyukur atas kebiasaan mereka sehari-hari. Baru juga empat hari tidak keluar melihat dunia, dia sudah sangat rindu.
Namun, tiba-tiba saja kilat menyambar menimbulkan suara menyeramkan untuk didengar oleh seorang Alsa. Sebelum pergi ke kafe ini pun, ia sudah merasakan angin-angin hujan, tapi ia mengabaikannya, toh dia pergi dengan taksi online, tak masalah jika nanti hujan ia bisa pulang dengan taksi online lagi. Beberapa saar kemudian, dari arah pintu masuk, ia melihat tiga manusia yang sudah tak asing lagi di matanya. Ya! Siapa lagi jika bukan Elvan, Gilang, dan Lala.
Ini bukan waktu yang bagus untuk bertemu mereka!
"ih Alsa kenapa ada di sini?" tanya Gilang terheran.

KAMU SEDANG MEMBACA
WALLFLOWER
Romance"a person who, because of shyness, unpopularity, or lack of a partner, remains at the side at a party or dance. any person, organization, etc., that remains on or has been forced to the sidelines of any activity: The firm was a wallflower in this ye...