03. The Bullying Vs Me

1.7K 163 32
                                    

Niatnya hanya menjadi persinggahan, agaknya Tuhan memainkan skenario lain hingga mengubah persinggahan menjadi pemberhentian agar hati menetap.

-seseorang dibalik lensa-

Tari sampai di kostan miliknya tepat saat jam menunjukkan pukul tujuh malam. Tubuhnya terasa remuk, belum lagi kakinya yang terasa akan putus akibat berjalan berkilo-kilo meter dari sekolahnya.

Gadis kelahiran bulan Oktober itu pun mengangkat sebuah pot bunga yang terdapat didekat pintu. Biasanya, Tari meninggalkan kunci kosan minimalisnya dibawah pot bunga ini. Jika dibawa, Tari takut akan hilang atau kelupaan menaruhnya dimana. Bagaimana pun Tari adalah orang yang cukup teledor dan mudah teralihkan perhatiannya. Tapi dia dirserang panik saat tak menemukan kunci kosan miliknya disana.

Apa Tari lupa menaruhnya dimana?

"Habis darimana kamu, Dek? Jam segini kok baru pulang?"

Tari menegakkan badan saat suara yang dikenalnya itu mengudara. Tante Luzi, tetangga samping kanan kosannya berdiri menjulang dipintu kosan miliknya dengan bibir mengapit sebatang rokok yang menyala.

"Tadi ada urusan sebentar, Tan. Makanya aku telat pulang," cicit Tari dibawah tatapan sangar wanita berusia dua puluh tujuh tahun dihadapannya. Ditambah dengan pembawaannya yang terkesan bad girl, dengan pakaian crop top dan belahan dada rendah, membuatnya semakin terkesan mengerikan.

"Kamu jangan coba-coba keluyuran yah, Dek. Aku selalu ngawasin kamu lho," ancam Luzi terdengar serius. Membuat Tari harus mengangguk patuh jika tak ingin diceramahi lebih lama.

Kenapa hidupnya selalu dikelilingi orang-orang yang punya tatapan mengintimidasi seperti ini, sih? Membuat hidup Tari terasa tidak tenang.

"Yaudah, kamu masuk sana. Itu Yana udah nungguin kamu didalam. Katanya dia lapar," ujar Luzi sambil membuang puntung rokoknya yang sudah habis. Lalu menginjaknya menggunakan sandal hingga padam.

Yang dimaksud oleh Luzi adalah tetangga sebelah kiri kosan Tari, dia seorang anak perempuan berusia Sembilan tahun. Ditinggal ayahnya yang berstatus sebagai duda beranak satu untuk bekerja sebagai salah satu pegawai perusahaan kecil dengan gaji tak seberapa. Mungkin dijam segini, Pak Darma belum pulang.

"Itu kulkas kamu juga udah aku isi sama bahan makanan. Jadi jangan mikirin mau masak apa buat sarapan besok pagi. Ngerti?" lanjut Luzi lagi. Tari yang tengah sibuk membuka tali sepatunya yang lusuh pun memandang Luzi dengan penuh penghargaan.

"Makasih loh, Tante. Tari selalu aja nyusahin Tante."

"Nggak usah dipikirin. Tugas kamu fokus aja sama sekolah. Masalah makan biar tante yang ngurus." Luzi mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. Sebelum berjalan memasuki kosan miliknya yang satu teras dengan kosan milik Tari.

Tari hanya bisa menatap pintu yang tertutup itu dengan perasaan campur aduk. Semoga saja, suatu hari dia bisa menjadi orang yang sukses sehingga membuat dirinya mampu membalas budi kepada orang-orang yang berbaik hati membantunya. Seperti Tante Luzi contohnya.

***
"Yana makan dulu, ya? Kak Li mau mandi sekalian nyuci baju. Ntar kalo udah selesai makan, Yana jangan lupa belajar, ya?"

"Oke, Kak Lili!" jawab gadis berusia Sembilan tahun itu kooperatif. Mulai menyuap makan malamnya dalam diam. Tari mengusap rambut sebahu milik Yana. Terkadang dia merasa iba, melihat anak sebesar ini harus menjalani hari-harinya sendiri. Seharunya ada sosok Ibu yang mendampingi masa pertumbuhannya. Tapi sayang, mungkin takdir ingin berkata lain.

My Illegal Boyfriend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang