07. Step Out Of Them Voices

1.1K 132 40
                                    

Terlalu di telan ambisi bisa membuatmu melupakan hati. Karena bahagia yang kau cari bukan soal materi. Tapi soal proses meraih mimpi.

-seseorang dibalik layar-


-•○•○•○•○•○•○•○•○-

"Neo michesseo? Ya, nappeun sekkia! Dwageoneoneun!" (Lo gila? Woi, berengsek. Tolong jangan ngomong lagi!)

Tari terpaksa menjauhkan ponsel genggamnya dari telinga jika tak ingin mendadak tercatat sebagai penyandang tuna rungu akibat teriakan Veril. Dia sengaja menelepon gadis itu saat pulang bekerja dari Toko Bude Sarah, menceritakan apa yang terjadi saat pulang sekolah. Kini dia tengah berjalan membelah jalanan semi aspal yang sempit dan gelap, menuju ke kostannya.

"Jangan ngomong pake bahasa alien, Win."

"Wae?!" (kenapa) teriak Veril belum merasa puas. "Gue nggak habis pikir sama otak kelewat bego lo itu."

"Terima kasih," kekeh Tari, yang dibalas dengan kalimat "sama-sama" dari Veril. Mau bagaimana pun, keduanya juga sama-sama gila. "Gue cuma butuh di dengerin, Win. Gue nggak masalah kalo kalian nggak bisa bantu. Ini masalah gue, biar gue yang ngurus."

"Tapi sampe minta Arseno jauhin Tarisa dengan cara numbalin diri sendiri?" Veril mendengus di seberang telepon. "Lo manusia bodoh yang pernah gue temuin. Spesies langka yang perlu di lestarikan negara."

"I just ... can't ignore-"

"Gak usah sebut nama dia--hais cewek? Cowok? Pft, i don't fukcin' care. It's make me feel-argh! Sampe keselnya otak gue nggak bisa nemuin kata yang tepat. Sejak kapan lo mau repotin diri buat hal-hal kayak gini, sih? Bukan lo banget."

"I know." Tari sampai di depan kostannya. Rumah-rumah kecil yang bersususan itu tampak hening. Pohon pisang bergoyag pelan ditiup angin di dalam kebun milik warga. Maklum, bagi penghuni disini jam sepuluh sudah termasuk larut malam, waktunya untuk istirahat. "Gue sampe, gue matiin teleponnya, ya?"

Tepat saat panggilan itu terputus, sinar cahaya kekuningan dari kendaraan yang melintas membuat Tari silau. Gadis itu menepi, mengira jika itu salah satu penghuni kostan yang hendak masuk ke wilayahnya. Tapi Tari merasa sedikit aneh dengan bunyi knalpot yang terasa familier dan tidak disatu waktu yang bersamaan...

"Woi, Moron!"

Tari memejamkan mata erat-erat, berharap bisa menghilang saat ini juga saat panggilan khas itu menggema ditelinganya.

"Temenin gue keluar." Arseno menghentikan motor matic hitamnya tepat di hadapan Tari, membuka kaca helm full-facenya. Gadis itu mengangkat kepala, untuk pertama kalinya berpikiran bodoh jika dia lebih baik bertemu begal sungguhan ketimbang bertemu Arseno disaat tengah lelah seperti ini.

"Ke mana? Akhirat? Yuk, mumpung lagi bosan hidup," jawab Tari lempeng sebagai pelampiasan rasa kesalnya. Matanya menatap ke arah Arseno, lelaki itu tampak memukau dibalik jas formal yang dikenakannya. Rambut dark cokelatnya juga di sisir rapih dengan poni ke samping kanan. Tari tebak, ini ada hubungannya soal acara yang Ella katakan dan Arseno sepertinya kabur ditengah-tengah acara.

Jangan mengharapkan Tari akan bertanya pada Arseno untuk memastikan pemikirannya, sebab Tari tak akan melakukannya.

"Nggak lah. Pokoknya lo ikut gue. Tapi kita ke STAY bentar, gue butuh tukar baju."

Enggan! Enggan! Enggan! Itu yang diteriakkan hati Tari. Tapi akibat perjanjian yang sialnya mulutnya sendiri yang mengucapkannya, Tari terpaksa menurut tanpa bisa membantah. Naik ke atas motor Arseno setelah memakai helm yang lelaki itu berikan.

My Illegal Boyfriend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang