31. Party

542 64 7
                                    

Sayangnya, aku bukan tipe perempuan yang bisa berkata soal ‘cinta’ semudah membeli permen kopi. Tapi percayalah, aku yang paling mengerti bagaimana cara menatapmu dengan pandangan yang paling memuja di atas muka Bumi ini.

-When Someone Fall in Love-

“Nggak usah tegang gitu, gue bercanda.”

Setelah berhasil menaikkan suhu tubuh Tari hingga suasana berubah 180 derajat, sampai-sampai wajahnya terasa akan terbakar, Arseno dengan mudahnya mengubah atmosfir tersebut kembali ke bentuk awal. Arseno hanya tertawa remeh, mengusap rambut Tari agar gadis itu tak salah paham.

Tak salah paham dalam makna lain.

“Lo sih yang mulai, gue kan tinggal lanjutin jokes lo doang.”

“Terserah,” jawab Tari datar. Merasa kecewa untuk suatu alasan yang tak bisa ia jelaskan.

Acara dimulai, si pemilik acara mula-mula berbicara untuk membuka dan berterima kasih untuk hadirin yang sempat datang. Lalu berlanjut pada ucapan dari Ameda dan Andes, serta kesan dan pesan untuk putri mereka yang menginjak usia 17 tahun. Tara juga memberikan pesan, meskipun terkesan terlalu biasa dan seadanya.

Ada rangkaian acara lainnya—Tari tak terlalu memerhatikan karena sibuk mencoba pancake dan cupcake yang tampak menggoda, lagi pula, acaranya terlalu kaku dan formal—dan semuanya berjalan dengan baik tanpa kendala.

Karena terlalu semangat mencoba berbagai hidangan, Arseno sempat kehilangan gadis itu setelah berbicara sejenak dengan teman yang ia kenal. Setelah menemukan Tari didekat meja minuman, Arseno kembali menarik gadis itu agar berdiri di sampingnya.

“Lo suka banget ngilang kalo lagi jalan, heran gue.”

“Makanan di sini enak, gak mau—“ perkataan Tari terhenti saat ia bisa merasakan bagian depan gaunnya terasa basah akibat minuman yang tumpah. Wraiters yang membawa nampan minuman dan tak sengaja menabrak Tari tampak kaget bukan main.

“Saya minta maaf, Mbak. Saya nggak sengaja!” Wraiters perempuan itu membungkuk-bungkukkan badan. “Sekali lagi maafkan saya.”

“Nggak apa-apa.” Tari menarik beberapa helai tisu di meja terdekat lalu mengelap minuman di atas dress-nya. Beberapa orang menaruh atensi sejenak, lalu kembali ke aktifitas semula.

Wraiters tadi meminta maaf sekali lagi setelah Tari mengatakan ‘Tidak apa-apa’ berulang kali.

“Gue ke kamar mandi dulu, kayaknya ini jus, lengket ntar kalo nggak dicuci.”

Arseno menganggukkan kepala, menyetujui pendapat Tari. “Bisa sendiri? Mau gue antar?”

“Bisa.” Kemudian Tari berbalik, bertanya sedikit kepada beberapa pengunjung soal letak toilet sebelum melangkah ke arah yang di tunjukkan dengan langkah sedikit was-was, takut tergelincir.

Dari sini Arseno bisa melihat tumit Tari yang memerah akibat terlalu dipaksakan mengenakan heels. Kalau dibiarkan lebih lama, tumit Tari bisa luka. “Kebiasaan banget. Tuh anak nggak bisa minta tolong apa?”

Arseno mendecak, meraih ponsel untuk menelepon seseorang agar membeli sepatu converse dengan ukuran yang kira-kira muat dikaki Tari. Sepuluh menit kemudian gadis itu kembali, membuat Arseno segera mematikan telepon untuk mengecek keadaan kaki Tari.

“Kaki lo sakit, kan?” Arseno berjongkok untuk memastikan. Tapi kali ini, kaki Tari terlihat baik-baik saja.

“Sakit kenapa?” tanya Tari balik. Arseno menengadah, menatap gadis itu lama dengan tatapan penuh menilai.

My Illegal Boyfriend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang