26. Between Confuse and Corius.

569 73 6
                                    

Ada saatnya kita itu justru lelah karena terlalu lama berperang dengan diri sendiri. Berperang antara keyakinan: memilih untuk tetap berjuang, atau memilih untuk segera patah arang.

-Arseno Allaric F-


“Veril nggak balik ke kelas?” Zania yang baru saja selesai dengan kegiatan OSIS untuk mengambil tas di kelas malah dibuat bertanya-tanya karena tas Veril yang teronggok di atas kursi. Tari yang pada dasarnya juga selalu pulang paling akhir—malas berdesakan di pintu gerbang, katanya—tentu saja masih stay di kelas.

Ada rahasia kecil, Tari paling suka dengan posisinya saat ini. Tiduran di atas lantai tepat di bawah kolong mejanya sendiri. Membiarkan rambut panjang Tari berserakan di atas lantai keramik putih. Jika kalian takut baju seragam Tari kotor, itu tak akan terjadi karena Tari tiduran setelah kelas selesai dibersihkan oleh murid yang mendapat jadwal piket besok.

Sejuk. Inilah surga dunia, batin Tari.

Aneh? Well, sejak kapan Tari tak terlihat aneh?

“Enggak kayaknya, gue tungguin dari pagi nggak balik-balik,” jawab Tari sedikit menjelaskan.

Doushita? (Kenapa?) Sakit?” Zania mendapati Tari menggeleng sebagai pengganti jawaban ‘tidak’. “Lah kalo nggak sakit terus kenapa ke UKS?”

Tari mengangkat kedua bahunya, dia juga tak tahu. Veril sejak pagi banyak mendiami Tari dan Pojokan, membuat Tari merasa clueless.

“Terus lo gimana? Mau balik sama gue?” tanya Zania menyandang tas di bahu kanan. Almamater khas OSIS yang tadi melekat di tubuh kini ia lepaskan dan disampirkan ke lengan kanan. “Tapi habis ini masih ada rapat forum osis, gimana dong?”

Memang, sejak kejadian Ella yang membully Tari membuat Pojokan jadi over protektif terhadap Tari. Biasanya bahkan ketiga teman Tari itu tak peduli jika tari tertidur dan dengan senang hati pulang duluan. Tapi sekarang tidak lagi.

Baru saja Tari hendak membuka mulut, sebuah suara baritone yang akhir-akhr ini sering menyapa telinga Tari telah lebih dulu menjawab. “Tari sama gue.”

Iya, Arseno. Memangnya siapa lagi?

Nani?! (Apa)” Mata Zania menyipit, menatap Arseno dan Tari bergantian. “Sejak kapan kalian jadi lengket gini?”

Tari memutar bola matanya jengah. Akhir-akhir ini Zania memang sibuk dengan kegiatan organisasi hingga jarang ada di kelas. Arseno mengabaikan Zania begitu saja, menghampiri Tari yang tertelentang di atas lantai. Memandang langit-langit kelas yang berwarna putih. “Udah bel pulang, Ron. Ngapain tidur disitu? Ngantuk?”

Zania yang merasa menjadi obat nyamuk segera saja ingin pergi saat mendapati Rifki—pacar Zania—sudah menunggu gadis itu di depan pintu. “Gue balik duluan, Tar. Sayonara!” Zania memandang Arseno lama, Tari hanya menjawab dengan gumaman tak jelas. Di dalam kepala Zania terpikirkan satu hal:

Apa hubungan Arseno dan Veril sebenarnya? Kenapa Arseno dan Veril bertingkah seperti orang yang tidak saling mengenal saat di sekolah, tapi di beberapa momen terlihat begitu dekat? Saat ditanya pun kepada Veril, gadis itu sibuk berkilah. Seperti narapidana korupsi yang di interogasi KPK.

“Ada apa lagi, Nya?” tanya Rifki. “Buruan, girl. Habis ini kita masih ada banyak kegiatan.”

Zania menghela napas, segera pergi karena Rifki mulai tak sabaran menunggu. “Mudah-mudahan bukan hal yang buruk,” gumam Zania pelan.

***

Arseno kira hanya manusia alien seperti Tari saja yang bisa betah di sekolah meskipun bel pulang sudah berbunyi lima belas menit yang lalu—diluar orang-orang yang memang memiliki kegiatan OSIS atau klub. Tapi dugaan Arseno salah, karena ada Tarisa yang berdiri di depan mading dengan pose seperti sengaja menunggu kedatangannya.

My Illegal Boyfriend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang