05. You Can Stay

1.5K 138 90
                                    

Jangan menaruh harap terlalu besar, jika tak ingin jatuh hingga ke dasar.

-seseorang dibalik lensa-

Akhir Minggu, Sabtu, Tari bisa sedikit bernapas lega saat hari libur sekolah datang. Sejak pagi  hingga siang dia merasa puas berkencan seharian dengan kasur empuknya. Tak memedulikan tumpukan cuciannya yang segunung beserta baju sekolah yang masih kusut, belum disetrika. Jika ada pencetak rekor tidur hingga lebih dari dua belas jam, maka Tari yakin dirinyalah pemenangnya.

Kini dia tengah duduk di depan sebuah laptop mini dengan kacamata tersangkut dipangkal hidung. Berpikir tema seperti apa yang akan dia bawa untuk drama monolog nanti. Berdoa saja semoga listrik tidak mati hari ini atau laptopnya akan gantung diri saat tengah asyik mengetik.

Baterai laptopnya bocor, jadi harus di charge terus jika ingin memakainya. Omong-omong soal dari mana Tari bisa membeli notebook, dia mencarinya diinternet dan membeli laptop bekas pakai. Tidak terlalu bagus, tapi lebih dari cukup untuk mewadahi hobinya. Uang yang dia gunakan pun hasil tabungan kedua orang tuanya.

“Gimana kalau ambil drama tradisional aja? Biar lebih gampang,” bisiknya terlebih pada diri sendiri. Mulai mengetikkan beberapa kata setelah mendapatkan nama-nama untuk para tokohnya. Tapi sebetik pemikiran mengganggu konsentrasinya. Tari berdiri, mengambil tootebag-nya yang pernah di pakai untuk menampung makanan milik Arseno dari pada secret admirer-nya. Tak terkecuali, Arseno juga menyuruhnya memungut surat-surat pengakuan cinta yang seabrek itu tanpa mau membacanya terlebih dahulu.

Diantara banyaknya surat yang mengganggu pandangan itu, Tari mengenal salah satu nama pengirimnya. Membuat Tari merasa gundah, memilih untuk peduli atau mengabaikannya sama sekali. Toh, jika dipikir-pikir itu juga bukan urusannya.

Shit, seharusnya gue nggak usah ikut campur,” bisiknya pelan, menyimpan sebuah surat dengan nama yang dia kenal itu untuk tersimpan di atas meja belajarnya. Selebihnya dia buang ke tong sampah. Ini sama sekali bukan gayanya untuk peduli dengan urusan orang lain.

Selintas ide untuk mengubah idenya melintas, tangannya meraih pena dan membubuhkannya di atas kertas binder. Baru menulis setengah dari ide yang ia tuangkan, penanya tak menghasilkan tinta lagi.

Ia kehabisan pena.

“Ah! Gue lagi males sumpah!” rutuknya pada udara kosong diruang kost huniannya. Tak ada jawaban, membuat Tari sadar jika dirinya benar-benar sendiri tanpa seorang pun yang bisa dia mintai tolong.

Pada akhirnya, Tari mencari cardigan untuk menutup baju lengan broken white pendeknya, melangkah meninggalkan kost dengan berat hati hanya untuk membeli sebilah pena.

***

Etalase yang berisi berbagai macam alat tulis dan peralatan kantoran menyambt pemandangan Tari. Lantai keramik putih tampak mengkilap bersih, menguarkan bau segar yang memanjakan hidung, sepertinya baru dipel. Tari celingak-celinguk, mencari penjaga toko tulis yang biasanya selalu berdiri di balik mesin fotocopy.


“Mau apa, Tar? Beli pena?” sapa Iky yang keluar dari balik komputer, dia hapal betul kebiasaan Tari yang selalu menjadi pelanggan tetap tokonya.

“Iya,” jawabnya dengan anggukan, menatapi deretan pena dengan macam merek di dalam etalase kaca bening. “My-gel hitam satu, Ky.”

“Cuma itu doang?” Iky mengambil pesanan Tari. “Harganya kayak biasa.”

Tari mengambil pena pesanannya setelah mencobanya pada secarik kertas yang Iky sediakan. Adik dari Taka itu menerima lembaran uang pas yang Tari serahkan.

My Illegal Boyfriend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang