Menjadi penulis itu pilihan, bukan siksaan. Bahkan jika dunia sekali pun yang menentang, tak ada yang berubah dari apa yang sudah di putuskan. Namun kalau kau merasakan yang sebaliknya, maka kau perlu pertanyakan; apakah kau mencintai apa yang kau kerjakan?
-Tari Ashallegra, Yang awalnya di tentang soal kepenulisannya-
Beberapa bulan sebelumnya.
Veril hanya bisa mengernyitkan dahi saat melihat pemilik dari gym Aksara itu masuk dengan tampang kusut seraya menenteng bundelan yang Veril yakini berisi pakaian bersih. Napasnya mulai terengah, berlari di atas tredmil selama lima belas menit dengan kecepatan sedang cukup menguras stanima.
“Kenapa muka lo kusut gitu, Kak?” tanya Veril di sela-sela larinya.
Cakra hanya mendengus, meletakkan pakaiannya di dekat barbel. “Perasaan gue nggak pernah minta kembalian kalau ke loundry. Apa muka gue muka-muka orang susah ya, makanya di kasih uang kembalian terus meskipun uangnya itu pas?”
Veril tergelak di atas tredmil. Gadis yang mengenakan celana leging selutut dengan sport bra itu menghentikan larinya dan mengambil handuk, menyeka peluh yang membasahi wajah. “Bukannya orang susah, Kak. Kalo Kakak nyadar pas kacaan, muka Kakak itu mirip preman Tanah Abang. Makanya orang pada takut.”
“Iya kah?” Cakra buru-buru mengeluarkan ponsel, berkaca lewat layar. “Nggak tuh, perasaan tampang gue masih ganteng-ganteng aja.”
Veril memutar mata jengah. Memilih menengguk air mineral dari botol minumnya ketimbang harus meladeni kenarsisan Cakra. Saat itu pula, seorang lelaki dengan menyandang ransel di bahu masuk ke dalam gym, tak lupa juga para penggemar fanatiknya yang selalu setia mengekorinya dari belakang.
“Bang!” sapa Arseno kepada Cakra, melakukan high five sejenak sebelum beralih memandang Veril. “Eh, adek gue di sini ternyata?” Arseno mengusak rambut Veril yang di kucir hingga berantakan, membuat sang empunya memandang sinis.
“Gak usah sok kenal deh, meskipun kita sering minum bareng di bar, bukan berarti kita dekat, apalagi temenan.” Veril mendecih pelan saat gym mulai ramai, kondisinya semakin tak menyenangkan. “Bukannya gue udah bilang, lo harus pura-pura nggak kenal gue kalo lagi di luar? Gue nggak mau jadi sasaran empuk buat investasi jangka panjang bokap lo.” Veril sengaja menekankan setiap kata di akhir kalimatnya. Mempertegaskan jikalau dia tak suka keberadaan Arseno di sini.
“Woah, santai. Lagi pula gue lagi di rumorin pacaran sama sahabat lo kok. Nggak bakalan ada yang curiga.” Arseno mengganti pakaian kasualnya dengan enteng di muka umum, menggantinya dengan kaos hitam tanpa lengan yang mampu membuat gadis-gadis yang kebetulan memandanginya menjerit histeris.
Beda dengan Veril, meskipun dia pecinta pria tampan, dia terkesan biasa saja saat melihat garis perut Arseno yang tajam. “Jangan jadiin temen gue mainan. Atau gue bakalan jadi karma yang manis buat lo.”
“Dengan cara?” Arseno menaikkan alisnya, menantang.
“Yah gue bisa ngomong sama nyokap gue kalo lo udah berbuat macam-macam. Nggak rugiin gue sih, tapi lo pasti tahu semarah apa Mr. Galen Allaric kalau sampai dengar putri pewaris satu-satunya rumah sakit Sennelier membenci anaknya? Kalau nggak suka masih di toleran—mungkin? Tapi kalau benci? Oh God, can you imagine?”
KAMU SEDANG MEMBACA
My Illegal Boyfriend
Teen Fiction[SELESAI REVISI✓] cover by @Ttmdesaignart [SPIN OFF SATU TIKET PULANG] Seharusnya seorang Tari Ashallegra, gadis biasa-biasa saja, kudet, punya sikap cuek terhadap gosip hot disekolahnya dengan otak pas-pasan yang memiliki pekerjaan sambilan sebagai...