Kebanyakan orang memang lebih tahu bagaimana caranya menjadi komentator ketimbang menjadi seorang kreator.
-Someone in Behind The Lense-
Kaki kecil Veril yang masih berumur sembilan tahun kala itu melangkah pelan di samping sang Ibu yang menggandeng tangannya. Kepala kecil yang hari ini di kucir samping itu menengadah, memandangi Serena yang memiliki tinggi badan yang jauh berbeda dari Veril."Kita mau kemana, Mami?"
"Mau ketemu sama anak yang suka murung gara-gara mikirin kamu. Orang bilang, Veril sakit gara-gara dia. Padahal Mami percaya kalau dia nggak punya niat kayak gitu. Itu murni kecelakaan. Jadi ayo, bantu dia buat ceria lagi."
Serena mendorong pelan bahu putrinya agar menghampiri Tari kecil yang duduk murung di atas ayunan taman. Termenung dengan kaki menendang-nendang pasir di ujung sepatu.
Veril memandangi Serena dengan tatapan bingung. "Bukannya itu teman Veril, Mi? Dia memang baik, kok. Malah Veril di ajarin cara berhitung waktu bermain sama dia. Terus kenapa dia yang di salahkan?"
"Orang-orang memang kebanyakan seperti itu, Ril. Makanya jangan terlalu percaya sama perkataan orang. Ada banyak hal yang nggak sesuai sama mata. Lagi pula," Serena tersenyum, mengusap pelan rambut Veril. "dia nggak pernah berhenti minta maaf selama kamu koma. Datang ke rumah sakit setiap pulang sekolah di temani sama salah satu Bibi yang kerja di rumah dia. Bawain macam-macam permen sama jajanan. Ingat, Ril, ada jimat yang paling bisa menjaga kamu dari hal-hal buruk di masa depan."
"Apa itu, Mi?"
"Sahabat yang selalu memikirkan bagaimana cara biar kekurangan kamu nggak kelihatan. Dia jadi pelengkap kamu. Bisa jadi apa pun saat bersama kamu. Dia juga nggak masalah dengan segala kekurangan kamu, itu sebaik-baiknya teman. Dan waktu dia berbuat kesalahan, dia nggak akan segan-segan buat minta maaf terlebih dahulu. Mami rasa Tari bisa jadi sosok sahabat yang baik buat kamu."
***
Semasa SMP, Veril dan Tari punya satu kebiasaan aneh saat jam istirahat sekolah.
Duduk di pelepah sawit di belakang sekolah sambil nyemil kentaki gorengan yang harganya seribuan, dan di lumuri sama saos dan kecap kiloan. Sebenarnya itu bukan makanan sehat, belum lagi kentakinya bukan kentaki seperti ala-ala KFC, hanya di dominasi sama tepung yang tebal dan daging ayamnya yang cuma seupil.
Tapi karena lambung Veril dan Tari sudah kebal, jadi tak masalah sekalipun ingin di konsumsi setiap hari. Di tangan masing-masing terdapat plastik berisi es jasjus sebagai minuman.
"Lagi nulis apaan, sih?" tanya Veril sambil mendorong-dorong pelepah yang berayun akibat angin. Di hadapannya ada Tari yang juga duduk di atas pelepah, kaki menumpu di salah satu buah sawit, sedang menulis sesuatu di atas paha sambil mengunyah suapan kentaki dari Veril.
"Nulis wish list buat sepuluh tahun kedepan."
"Apaan wish list?" Waktu itu, Veril masih menganggap kalau mata pelajaran Bahasa Inggris itu menyebalkan. Jadi tak heran jika di masa itu, Veril belum tahu seluk-beluk per-bahasa Inggris-an.
"Ck, daftar keinginan lho! Lo mau apa di masa depan, mau jadi apa, tulis. Dari artikel yang gue baca, kalau lo nyimpen catatannya lebih dari lima tahun, nanti keinginan lo bakalan terkabul."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Illegal Boyfriend
Teen Fiction[SELESAI REVISI✓] cover by @Ttmdesaignart [SPIN OFF SATU TIKET PULANG] Seharusnya seorang Tari Ashallegra, gadis biasa-biasa saja, kudet, punya sikap cuek terhadap gosip hot disekolahnya dengan otak pas-pasan yang memiliki pekerjaan sambilan sebagai...