38. So Sorry

646 78 19
                                    

Air hujan yang jatuh ke tanah tak akan pernah bisa kembali ke langit secara singkat. Butuh siklus panjang. melewati bebatuan, mengalir dianak sungai, berujung ke muara, bebas dilaut, menguap, lantas baru bisa kembali pulang pada awan jenuh. Begitu juga kepercayaan. Apa yang sudah hilang tak mudah untuk dikembalikan.

-Tari Ashallegra-

“Ada sedikit masalah dengan anak Ibu,” ucapan pembuka dari dokter muda dengan wajah cantik itu membuat Rasel terdiam. Semalaman dia memang menunggui Tari, tapi gadis itu tak kunjung bangun hingga siang. Lalu ke esokan paginya dia justru mendapat panggilan dari Dokter Rasya—dokter yang bertugas merawat Tari—untuk membahas perihal kesehatan Tari lebih jauh.

“Saya sarankan untuk membawa Tari berkonsultasi dengan Psikiatri setelah ia sadar. Bukan bermaksud menaku-nakuti, hanya saja, saya lihat kasus narkolepsi yang Tari derita lebih sering mendominasi setelah dia terkena hipotermia. Sudah nyaris dua hati Tari tertidur tanpa bangun sedikit pun. Tari seharusnya sudah bisa bangun sekarang, hanya saja alam bawah sadarnya seakan enggan untuk bangun lagi. Seakan, maaf, dia sudah tidak punya semangat untuk hidup. Saya takut, jika ada kejadian traumatis yang menimpa Tari hingga membuat gadis itu memilih untuk tetap tertidur dalam jangka waktu lama yang tak bisa ditentukan.”

Jantung Rasel seakan dicabut dari tempatnya ketika mendengar penjelasan Dokter Rasya. Susah payah Rasel menelan ludah. Mata panas tanpa bisa ia cegah. “Jadi apa solusi agar bisa membuat Tari bangun, Dokter Rasya?”

Dokter Rasya hanya menggeleng pelan. “Kita tidak bisa melakukan apa pun, semua tergantung Tari. Gadis itu akan bangun atas inisiatifnya sendiri. Tapi jika dibiarkan terus seperti ini, ada kemungkinan Tari tidak akan pernah bangun lagi.”

Rasel menangis tersedu. Tak bisa menahan isak tangis yang memukul hati hingga terasa ngilu. Andai ada Evan, mungkin Rasel bisa sedikit lebih tegar, atau minimal berkepala dingin sembari memikirkan solusi untuk membuat Tari bangun. Tapi Evan masih diperjalanan, Rasel merasa seperti berjuang sendiri disini.

“Saya punya beberapa saran terapi untuk Tari, tapi ini biasanya dilakukan untuk pasien koma.” Dokter Rasya mengulurkan sekotak tisu pada Rasel. Tampak terbiasa menghadapi orang tua pasien yang histeris mendengar perkembangan kondisi anaknya. “Mungkin bisa dimulai dengan mengajak Tari bercerita. Atau memberikan motivasi-motivasi yang bisa saja membuat Tari berniat untuk bangun kembali. Mari kita coba, semoga ini berhasil. Anda bisa memulai dari sahabat terdekat Tari, atau jika memungkinkan, orang yang memiliki ketertarikan khusus dengan Tari? Itu bisa jadi solusi yang tepat.”

***

Jauh dibawah alam sadarnya, Tari merasa jika dia sedang duduk di ruangan isolasi serba putih tanpa celah. Benar-benar putih sepanjang mata memandang. Sedangkan Tari duduk disana, melipat kaki sembari bersenandung kecil sambil memejamkan mata. Sekitaran sunyi tanpa suara. Benar-benar lengang.

Tari serasa seakan sedang pulang sebentar. Dia bisa beristirahat disini tanpa takut jika akan ada masalah baru yang datang. Ia sedang lelah, dan ini adalah pemberhentian paling sempurna yang pernah Tari temukan.

Tapi disisi lain, Tari seakan disajikan dengan pemandangan kosong dan hampa. Seperti apa yang ia rasakan kini. Tari merasa kehilangan, kosong, tak berisi.

Apakah menjadi sendiri secara arti yang sebenarnya adalah pilihan bagus?

Ketika seseorang tak hadir, maka Tari tak perlu cemas memikirkan ketika seseorang itu akan pergi, bukan?

Tari merebahkan tubuh diatas bentangan lantai putih tak bergaris. Memandang kosong pada langit-langit putih yang terbentang di atas kepala. “Benar-benar nggak ada orang, ya?” Ia menghela napas. Diam-diam senyum Tari terbit tanpa diminta.

My Illegal Boyfriend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang