Chapter 2

8.7K 394 3
                                    

Semangat, Sya!

Aku mengepalkan tangan, menyemangati diri sendiri semoga hari ini semuanya berjalan dengan lancar seperti hari-hari sebelumnya. Sekali lagi, aku memperhatikan penampilanku di cermin, blus berwarna putih dengan manik-manik berwarna hijau di kerahnya tampak membalut tubuh atas ku. Sedangkan di bagian bawah, rok span berwarna hijau memeluk bokongku sampai ke lutut. Dan untuk alas kakinya, aku memilih Salvatore Ferragamo berwana hitam.

Secara keseluruhan, penampilanku sempurna, sama seperti sebelum-sebelumnya. Tapi yang menjadi masalah, mata sembab ku masih terlihat jelas meskipun sudah tertutup make up. Ugh, menyebalkan!

Rambutku yang panjang hampir menyampai pinggul, aku kuncir tinggi agar terlihat rapi. Dan tentu saja termasuk untuk memamerkan leherku yang jenjang. Sebagai wanita, kita harus menonjolkan apa yang kita punya kan? Tapi, aku memamerkannya dalam balutan yang elegan dan berkelas, tidak seperti wanita kurang belaian yang bajunya kekurangan bahan di sana sini.

Yeah, aku bermain cantik. Banyak lelaki yang menginginkan diriku, tidak jarang CEO dari rekan bisnis bos ku juga sering mencari kesempatan untuk mencuri perhatianku. Namun tentu saja aku mengacuhkan para lelaki itu, karena yang ku inginkan cuman satu, dia, yang tidak pernah melirikku sedikit saja sebagai perempuan.

Napas berat keluar dari mulutku, entah kenapa, setiap memikirkan lelaki itu, ada rasa sesak di dada. Jadi, aku memutuskan untuk segera keluar dari toilet agar segala pemikiran tentang lelaki itu musnah. Suara dari high heels yang ku pakai menggema, aku terus berjalan dengan anggun menuju ruang sekretaris, menebar senyum manis ketika berpapasan dengan karyawan lain.

"Good morning!" Sapa ku ramah ke mbak Ana yang tampak sedang memperbaiki dandanan di meja kerjanya.

"Morning!" Jawab mbak Ana tidak kalah ramah. Dia memasukkan cermin nya ke dalam tas lalu beranjak dari meja kerja, menghampiriku yang telah mendudukkan bokong ke kursi.

"Mata lo kenapa, dek?" Mbak Ana meraih wajahku, menatap mata sembab ku lekat dengan alis bertaut.

Aku meringis pelan, bingung harus memberi alasan apa. "Semalem nonton drakor sama temen aku, mbak."

Mata mbak anak memicing, tampak tidak percaya dengan alasan konyol yang ku utarakan. "Serius? Sejak kapan lo suka drakor?" Tanyanya penuh dengan nada curiga.

Sekali lagi, aku meringis. "Emang ngga suka sih, tapi dipaksa sama temen."

"Serius, lo ngga kenapa-kenapa kan?" Oh, mbak Ana tidak akan melepaskan ku dengan mudah.

Aku menggeleng pelan, "ngga papa kok, mbak."

Tangan mbak Ana yang sedari tadi menangkup wajahku terlepas, tetapi dia belum beranjak dari tempatnya.

"Oh iya, mbak. Gue denger-denger, Pak Arkana tunangan ya?" Tanyaku hati-hati, berusaha agar tidak terdengar mencurigakan.

"Iya, dia udah tunangan. Ngga tau deh berapa banyak yang patah hati karna tu orang tunangan." Jawab Mbak Ana cuek, tampak kurang tertarik dengan berita itu.

Tapi aku tidak akan menyerah, rasa penasaran kenapa aku sebagai salah satu sekretaris Arkana tidak mengetahui dia telah bertunangan tidak pernah lepas dari pikiranku. "Ih, kok kita ngga diundang sih, mbak? Gue aja baru tau semalem dari temen." Ucapku sebal.

"Gue juga baru tau kemaren, katanya sih pestanya lumayan gede, tapi ngga ngundang awak media makanya sampe sekarang belom ada beritanya. Orang kantor yang di undang juga cuman yang punya jabatan tinggi doang." Jelas Mbak Ana, ia kembali ke mejanya lalu mulai menghidupkan komputer.

Tapi tetap saja rasanya ini aneh, aku dan mbak Ana itu sekretarisnya, menurutku berita seperti itu seharusnya kami di kasih tahu. Dan jika pun aku sebagai sekretaris tidak diberitahu, sebagai teman bukankan aku berhak tahu? Ah, itupun kalau dia benar-benar menganggap ku sebagai temannya.

Can't Stop LovingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang