Chapter 15

4.6K 220 5
                                    

Dengkuran halus menyambutku kala terbangun pagi harinya. Mataku yang masih setengah terbuka mengerjap-ngerjap pelan. Kedua alisku bertaut begitu menyadari penampakan di depanku bukanlah yang seharusnya ku lihat. Dada kokoh Arkana yang terbalut kaus putih tipis.

Perlahan, aku berusaha bangkit namun tangan Arkana yang membelit pinggangku menghalangi. Aku melepaskan tangan Arkana dengan hati-hati, takut lelaki itu terbangun.

Berhasil. Aku segera duduk dan memperhatikan Arkana yang tengah tertidur lelap. Tanganku terangkat untuk memeriksa suhu tubuh Arkana. Desahan lega keluar dari mulutku ketika merasakan panas Arkana telah turun secara drastis.

Setelah memperhatikan Arkana sebentar, aku segera beranjak keluar dari kamar seraya membawa ponsel yang tergeletak di atas nakas. Tidak tahu kenapa, sedari semalam pikiranku bercabang antara memikirkan Arkana dan orang tuaku. Hal ini sangat jarang terjadi karena kesibukanku. Oh salah, lebih tepatnya aku menyibukkan diri.

Tidak kuat menahan rasa aneh di dada, aku akhirnya memutuskan menghubungi mama. Aku membuka pintu balkon apartemen Arkana seraya menempelkan ponsel ke telinga. Udara segar pagi hari menyambutku ditambah dengan pemandangan semburat warna jingga di ufuk timur, sebentar lagi matahari terbit.

"Hai, sayang."

Aku tersentak dengan mata berusaha menahan tangis, aku merindukan suara ini. "Hai, mam."

"Udah lama banget kamu ngga nelpon mama." Suara mama tampak bergetar, membuatku harus mengerjap beberapa kali agar tidak terisak.

Perlahan, aku berjalan mendekati railing lalu memejamkan mata seraya mengambil napas sebanyak-banyaknya. "Sasya kangen mama." Cicitku pelan.

Suara isakan mama terdengar. "Mama juga, kamu udah maafin mama?"

Akhirnya, air mataku ikutan jatuh mendengar suara lirih mama. Terakhir kali kami berbincang di telepon sekitar sebulan yang lalu berakhir tidak baik. Aku meluapkan rasa kecewaku begitu mengetahui mama dan papa berniat untuk berpisah. Tidak masalah kalau mereka jarang ada waktu untukku asalkan mereka selalu bersama, itu cukup untukku. Namun begitu mendengar penjelasan mama waktu itu, berhasil membuatku meluapkan segala emosi yang telah terpendam begitu lama.

"Hmm, mama sama papa apa kabar?" Tanyaku terisak pelan.

"Baik. Kabar kamu gimana?"

"Aku juga baik."

Setelah hening cukup lama, suara mama kembali terdengar. "Masalah perceraian itu, mama sama papa memutuskan buat ngga jadi melaksanakannya."

Desahan lega keluar dari mulutku. Sungguh, aku tidak ingin kedua orang tuaku berpisah. Oh ayolah, siapa yang menginginkan hal itu terjadi?

"Mama serius?"

"Iya, mama sama papa ambil jeda selama dua minggu. Mencoba instropeksi diri sendiri dan sadar kalau ngga bisa hidup tanpa satu sama lain. Dan alasan lainnya sudah pasti kamu, kami ngga ingin bikin kamu semakin kecewa." Jelas mama.

Senyuman manis tersungging di bibirku, aku menghapus air mataku dan memandang gedung-gedung di depanku menerawang. "Aku lega banget dengernya. Mama sama papa lagi dimana?"

"Korea selatan, papa ada seminar disini jadi mama temenin. Setelah dari sini kami bakalan jenguk kamu." Suara mama terdengar serak dan aku yakin, wanita yang teramat aku sayangi itu pasti masih mengeluarkan air mata. Dan oh, aku sungguh tidak sabar untuk bertemu kedua orang tuaku.

"Aku nelponnya kepagian?" Tanyaku tidak enak, pasalnya disini masih jam enam dan setahuku perbedaan waktu Indonesia dengan Korea hanya dua jam.

"Ngga kok, tapi papa kamu masih tidur." Kekekahan mama terdengar diakhir kalimatnya.

Can't Stop LovingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang