Chapter 40

4.1K 259 24
                                    

Langit senja perlahan berganti menjadi kekelaman yang begitu pekat. Tidak ada bintang yang terlihat di atas sana, hanya kegelapan yang seakan bisa menelanku hidup-hidup. Aku melarikan mata ke sekeliling, memperhatikan gedung-gedung tinggi yang memendarkan cahaya kekuningan yang terlihat cantik, pemandangan yang sedikit berbeda dengan yang ku lihat hampir satu tahun ini.

Bandung memang belum memiliki gedung-gedung tinggi sebanyak yang ada di Jakarta, di sana lebih banyak bangunan-bangunan peninggalan khas Belanda yang masih terawat. Namun aku menyukainya, hal itu membuat Kota Bandung mempunyai ciri khas tersendiri. Ah, entah kenapa, tiba-tiba aku merindukan apartemenku di Bandung. Di sini terasa begitu sesak dan aku tidak punya teman untuk membagi keresahan hatiku.

Permohonan Kakek Pram tadi hanya bisa ku jawab dengan kesunyian. Karena yeah, aku harus menjawab apa? Hatiku masih belum bisa menerima kalau harus berpisah dengan Arkana, lelaki yang meniupkan secercah kehidupan dalam jiwaku yang mati rasa. Bahkan membayangkannya saja sudah terasa begitu menyesakkan. Tapi aku bersyukur Kakek Pram tidak mendesakku, beliau sepertinya paham dan meninggalkanku sendirian di kantin.

Dan saat ini aku terdampar di rooftops rumah sakit yang di sulap menjadi sebuah taman mini. Di sana ada beberapa bangku yang berjejer rapi, pencahayaannya juga lumayan baik karena disetiap bangku terdapat satu lampu taman di belakangnya. Jika aku dalam kondisi normal, aku mungkin sudah memuji taman mini tersebut, pemandangan di sini benar-benar memanjakan mata, apalagi kalau malam hari. Dan aku beruntung menemukan tempat seperti ini ditengah kegundahan hatiku. Rasanya seperti menemukan oase di tengah padang pasir, terlebih lagi tidak ada orang selain diriku di taman ini.

Hatiku tidak tenang, aku bisa merasakan perasaan aneh yang selalu menghantuiku sebelum memutuskan untuk pulang ke Indonesia semakin terasa pekat dan menyesakkan. Aku seperti diintai oleh sesuatu tak kasat mata, dia seperti mengejarku dengan kecepatan super tinggi dan ingin memerangkapku dalam bayangan kelam. Dan aku sadar sesuatu itu semakin dekat, dia seakan menyampaikan kalau waktuku tidak akan lama lagi. Dia akan segera datang menjemputku.

Ya Tuhan, tidak mungkin secepat ini kan? Aku baru meneguk bahagia, tidak mungkin Engkau mengujiku dengan ini bukan? Aku tidak akan sanggup. Ya Tuhan....

"Sya...."

Suara yang terdengar begitu familiar itu menyadarkanku dari lamunan. Dengan tergesa, aku mengusap air mataku yang tidak sengaja turun kemudian tersenyum seraya mencari sumber suara dan menemukan Arkana berdiri tidak jauh dari pintu masuk. Senyumku mengembang semakin lebar, namun perlahan menyusut kala mendapati ada yang aneh dengan Arkana. Lelaki itu tampak berbeda dan jantungku berdebar kencang entah kenapa.

"Hey, are you okay?" Tanyaku cemas. Aku bangkit, berniat menghampiri Arkana. Namun aku mengurungkannya kala melihat Arkana menggerakkan kakinya mendekatiku.

Aku menunggu Arkana dengan perasaan resah, khawatir lelaki itu tidak baik-baik saja. Kakiku terasa gemetaran, dan kenapa aku bisa seresah ini?  Begitu jarak kami semakin dekat, aku bisa melihat dengan jelas kalau telah terjadi sesuatu kepada lelaki itu.

Terlalu fokus memperhatikan Arkana, aku terkejut kala mendapati benda basah menempel di bibirku. Mataku membulat, jantungku berdetak semakin tidak karuan. Air mataku jatuh, begitu deras. Dan aku tidak tahu kenapa aku menangis.

Aku.... Ada apa denganku?

Rasanya tenggorokanku begitu sesak, aku butuh bernapas dengan benar. Namun bukannya mendorong Arkana, aku malah membalas ciumannya dan mengalungkan tanganku di lehernya. Ada rasa asin di ciuman kami, tidak tahu apakah itu air mataku atau air mata Arkana. Yeah, Arkana juga menangis, entah kenapa. Aku bisa merasakan air matanya jatuh ke pipiku.

Can't Stop LovingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang