Chapter 11

5K 240 4
                                    

Suara pintu diketuk menggema di telingaku. Aku menghembuskan napas, berusaha menenangkan debaran jantung yang menggila kala mendengar suara orang di balik pintu. Selalu seperti ini ketika aku akan berhadapan dengan Arkana, pengaruh lelaki itu sampai sekarang sangat besar terhadap tubuhku.

Perlahan, aku membuka pintu ruangan Arkana dan melangkah masuk. Lelaki bermata hitam kelam itu tengah duduk di kursi kebesarannya, sebuah laptop dan beberapa berkas nampak memenuhi meja.

Arkana mendongak, tangannya terangkat untuk menyuruhku mendekat. Dari wajahnya, aku tahu kalau dia masih merajuk.

Ketika aku telah berdiri tepat di depannya, Arkana masih sibuk membolak-balik berkas yang ku ketahui sebagai proposal yang diajukan divisi finance pagi tadi. Dengan sabar, aku menunggu Arkana tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.

Beberapa menit menunggu dan Arkana masih tampak sibuk, rasa kesal mulai memenuhi hatiku. Namun aku masih bersabar, menanamkan dalam hati kalau lelaki itu tengah merajuk.

Sepuluh menit kemudian dan aku tidak bisa menahan kekesalanku lagi. Jadi, dengan langkah sedikit di hentakkan, aku berbalik dan berjalan menuju pintu. Tidak pamit sama sekali.

Tanganku yang hampir meraih gagang pintu ditarik lalu tubuhku dibalik menghadap Arkana. Aku cemberut, merasa sangat kesal dengan lelaki yang berdiri di depanku itu.

"Kok jadi kamu yang kesel? Harusnya aku lho, Sya." Arkana menarik ku untuk mengikutinya lalu mendudukkan ku di sofa yang berada di tengah ruangannya.

"Bodo!" Sahutku cemberut.

"Ya udah." Ucap Arkana cuek, ia melepaskan genggaman tanganku lalu membenarkan posisi duduknya menjadi tegap.

Uh oh, kalau seperti ini terus, aku yakin diantara kami tidak akan ada yang mengalah. Lagian, segala perilaku Arkana sekarang juga karena sikap kekanak-kanakan ku. Aku juga tidak tahu kenapa aku gampang kesal akhir-akhir ini, apa karena PMS?

Wajah merajuk Arkana menoleh saat aku menggenggam tangannya dengan lembut. Aku melempar senyum lebar dan menggeser dudukku agar lebih merapat padanya.

"Kenapa manggil?" Tanyaku dengan nada lembut, berusaha meredam kekesalannya padaku.

Arkana luluh, dia balas menggenggam tanganku erat. "Jangan bahas pekerjaan mulu, jangan panggil 'Pak' kalo kita cuman berdua terutama di chat." Tutur Arkana seraya menatapku penuh peringatan.

"Okay, I'll do that."

Akhirnya, bibir Arkana yang sedari tadi tertekuk melengkung. Ia menyarangkan satu kecupan singkat di pipiku tanpa merasa risih kalau kami saat ini sedang ada di kantor.

Dan, tentu saja aku tidak suka!

"Ka!" Protesku galak.

"Why?" Tanya Arkana sok polos.

"Ini di kantor!"

"So?"

Oh my, wajah sok polos Arkana sungguh berhasil membuatku kembali kesal. "Aku ngga suka."

"Kamu ngga suka aku cium?" Nah, sekarang Arkana juga ikutan kesal.

"Bukan gitu—"

"Trus?" Potongnya cepat.

"Ini kantor, kita harus bisa bersikap profesional." Pelukan dan pegangan tangan masih bisa ku toleransi meskipun itu termasuk tidak profesional. Namun ciuman? Aku tentu saja tidak bisa membiarkannya.

"Masih jam istirahat, ngga ada salahnya kan?"

"Tap—" Lagi, ucapan ku dipotong Arkana.

"Kalo jam kerja aku ngga akan berani, tapi sekarangkan istirahat jadi ngga papa." Sahut Arkana sewot.

Can't Stop LovingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang