Chapter 39

3.3K 234 9
                                    

"Ka...." Ucapku pelan, namun lelaki yang sedari tadi hanya diam itu bergeming, tidak menghiraukan panggilanku sama sekali.

Saat ini kami tengah berada di taman rumah sakit, duduk berdampingan di dekat bangku yang berada di samping lampu taman. Aku berniat untuk meringankan sedikit beban Arkana, membiarkannya menghirup sedikit udara segar agar dia bisa menjernihkan pikiran. Namun sedari tadi, yang dilakukan Arkana hanya diam seraya menundukkan kepala.

Sudah lebih dari lima kali aku memanggil namanya, namun belum ada sahutan yang terdengar hingga saat ini. Hal itu tentu membuatku cemas sekaligus semakin merasa tidak berguna. Kehadiranku di sisinya tidak membawa pengaruh dan aku sungguh merasa buruk.

Menyerah menunggu respon Arkana, aku beranjak dari dudukku lalu berdiri di depan lelaki itu. Tanganku terangkat untuk menyentuh kepala Arkana lalu mengusapnya dengan lembut. "Hey...." Ucapku, membawa tanganku ke pipinya lalu mengarahkan wajahnya ke arah ku.

Mata Arkana yang berkaca-kaca tampak begitu sayu, bibirnya yang biasanya selalu melempar senyum jahil mengatup rapat. Sembari tersenyum lirih, aku membawa Arkana ke dalam pelukan. Merengkuhnya seerat mungkin dan mengusap punggungnya dengan lembut. Membisikkan 'It's okay....'  berulang kali dengan pelan, mencoba menenangkan hatinya yang gusar.

Tidak berapa lama, aku merasakan Arkana membalas pelukanku. Ia menyandarkan kepalanya di perutku dan merengkuh pinggangku dengan begitu erat. Isakan pelan lolos dari bibirnya. Dan sungguh, aku berusaha untuk tidak ikut menangis namun air mataku dengan keras kepalanya tetap turun. Rasanya begitu sesak dan aku tahu dengan sangat kalau Arkana terluka begitu dalam.

Isakan Arkana mulai mengeras, aku bisa merasakan bajuku basah oleh air mata pria itu. Menghapus air mata di pipi, aku menghembuskan napas pelan untuk mengusir sesak lalu memeluk Arkana dengan segenap jiwa. Tanganku mengusap punggungnya yang naik turun dan sesekali mencium puncak kepalanya pelan.

Beberapa orang yang juga tengah berada di taman sesekali melirik ke arah kami, namun hanya sebentar. Mungkin karena sudah terbiasa melihat pemandangan seperti ini. Dan itu cukup membantuku karena kami tidak perlu menjadi tontonan orang-orang.

Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku semenjak Arkana menumpahkan kesakitannya. Aku hanya diam. Namun tetap memastikan Arkana mengetahui kalau dia tidak sendiri di dunia ini. Memberi tahunya bahwa aku akan selalu berada di sampingnya.

Aku pernah membaca bahwa cara terampuh untuk menenangkan orang yang tengah bersedih adalah dengan memastikan kalau orang itu tidak sendiri. Tidak perlu banyak bicara, cukup selalu ada di sampingnya. Dan itulah yang sedang ku lakukan saat ini dan aku berharap cara itu ampuh untuk menenangkan Arkana.

Hampir setengah jam kami berada di posisi tersebut, tangisan Arkana sudah mulai reda meskipun lelaki itu masih belum mau menjauhkan wajahnya dari perutku. Aku mengusap rambut Arkana, mencium puncak kepalanya lama.

"Mau ngobrol?" Tanyaku pelan.

Arkana mengangguk, menjauhkan sedikit wajahnya dari perutku lalu mendongak. Mata dan hidung Arkana memerah, air mata masih tersisa di pipi dan sudut matanya. Tanganku yang berada di kepala Arkana turun, mengusap air matanya hingga kering lalu memberinya senyum menenangkan.

"Aku ngga sengaja ngucapin itu, Sya." Ucap Arkana lirih. "Aku ngga ada maksud sama sekali bikin Papa kayak gini."

Kepalaku mengangguk, sangat mengerti kalau Arkana tidak sengaja mengatakan hal itu. Dia sangat menyayangi keluarganya, aku bisa melihatnya semenjak kami masih berada di bangku SMA. Meskipun wataknya terkenal cuek, Arkana tidak pernah malu menunjukkan kasih sayangnya kepada keluarganya.

Lagi, Arkana menenggelamkan kepalanya di perutku. "Aku hanya terlalu marah karna Papa nuduh kamu yang bukan-bukan, aku hanya terlalu kesal karna Papa salah mengerti apa yang berusaha aku jelasin. Lalu kata-kata itu tiba-tiba saja terucap. Aku menyesal, Sya. Papa jadi kayak gini karna aku. Kalau Papa ngga mau bangun gimana? Kalau Papa ninggalin aku karna terlalu kecewa sama aku gimana? Aku ngga bakalan sanggup kehilangan orang yang udah besarin aku tanpa pamrih."

Can't Stop LovingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang