Chapter 12

4.7K 220 4
                                    

Hampir seminggu Arkana pergi. Mbak Ana yang ikut menemani Arkana ke Jepang sudah kembali, sedangkan Arkana saat ini berada di Surabaya. Mas Bian menyusul Arkana tiga hari yang lalu dan aku cukup lega akan hal itu. Arkana itu selalu bepergian bersama Mas Bian, jadi aku sedikit khawatir dia pergi jauh tanpa didampingi PA-nya itu.

Berita baik terdengar di seantero kantor ketika Arkana dan tim lainnya menyelesaikan masalah di Jepang. Mereka berhasil memenangkan tender yang bernilai ratusan miliar. Dan aku sangat bangga dengan kerja keras pacarku itu.

Komunikasi kami seminggu ini berjalan kurang baik. Arkana sibuk menyelidiki kasus monopoli toko di mall cabang Surabaya dan aku juga sibuk meng-handle pekerjaan Arkana disini, memilah-milah berkas berdasarkan tingkat urgent-nya lalu mengirimkannya ke Mas Bian untuk di periksa.

Kantor tanpa Arkana itu memang terasa agak aneh, meskipun suasananya sedikit lebih santai.

Aku merenggangkan tubuhku lalu menutup laptop setelah memeriksa berkas yang di minta Mas Bian dan mengirimnya lewat email. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, hanya tinggal aku dan Keiser—asisten yang sering mengantar jemput Arkana—di ruang sekretaris.

"Kei, lo belum balik?" Tanyaku.

Keiser mendongak, "bentar lagi, Sya. Nanggung nih."

"Kalo gitu gue duluan, ya." Aku beranjak dari kursi ku seraya menenteng tas.

"Siip, hati-hati."

"Lo juga, biasanya penghuni sini langsung keluar kalo sendiri."

"Sialan!" Maki Keiser.

Aku tertawa lalu segera meninggalkan ruang sekretaris sebelum Keiser melempar ku dari lantai 23.

Aku merebahkan tubuhku di sofa begitu sampai di apartemen. Dua hari ini Arkana tidak menghubungiku sama sekali dan itu berhasil membuatku gelisah. Aku menghembuskan napas kasar, bangkit dari sofa lalu berjalan ke sudut ruangan dekat jendela kaca besar yang saat ini tertutupi gorden.

Piano

Entah kapan terakhir kali aku menyentuh benda kesayanganku itu, mungkin sekitar seminggu yang lalu. Padahal biasanya, aku tidak bisa melewatkan hari tanpa memainkan piano, setidaknya dalam sehari itu aku menyentuhnya sekali.

Jemariku mulai menari di atas tuts berwarna hitam dan putih itu. Perasaan damai mulai merasuki kala untaian nada menggema lembut.

Perasaan ini, perasaan tenang yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata hanya bisa ku dapat dari memainkan piano.

Ting tong ting tong

Bunyi bel apartemen menghentikan pergerakan jemariku. Aku beranjak dan membuka pintu apartemen. Seorang perempuan bertubuh kecil tersenyum lebar di depan ku.

"Hola!"

Leta menghambur ke dalam pelukanku, tubuhku agak terdorong ke belakang akibat kelakuan bar-barnya.

"Kangen!" Pekik Leta senang.

Aku terkekeh pelan, melepaskan pelukan Leta lalu mengajaknya masuk. "Kenapa ngga langsung masuk aja sih?"

Kami berdua duduk berdampingan di sofa ruang tamuku.

"Supaya surprise dong."

"Bunda gimana? Maaf ya gue ngga bisa jenguk, kerjaan disini ngga bisa ditinggal." Ucapku tak enak.

Bunda Leta dirawat sekitar tiga hari karena kelelahan dan harus istirahat total selama seminggu. Selama itu, aku belum sempat sama sekali menjenguk beliau. Selain karena beliau berdomisili di Jakarta, pekerjaan yang akhir-akhir ini membludak menghalangiku.

Can't Stop LovingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang