Bagian 48

485 26 0
                                    

Maya mengerjapkan matanya saat merasakan sinar menyinari matanya. Masih dengan lemas, Maya bangun dari tidurnya. Maya masih sedikit merasakan pusing di kepalanya. Maya menoleh ke sampingnya. Terlihat Rendy yang tertidur dengan bersandar di kepala ranjang dengan tangannya yang masih memegang handuk kecil untuk mengompresnya semalam.

Tetlihat wajah Rendy yang sangat lelah. Ia ingat, saat ia bangun dari tidurnya untuk shalat. Rendy dengan telaten membawanya wudhu, mengawasinya saat salat, dan ia ingat tengah malam, Rendy masih setia mengompresnya. Ia juga ingat betapa telatennya Rendy menyuapinya. Sekarang suhu tubuhnya sudah mulai turun. Timbullah bulan sabit di wajah Maya.

"Semoga, Allah membalas kebaikanmu kak. Aku bangga punya suami seperti kakak. Aku nggak akan lupain pengorbanan kakak buat aku."

Rendy membuka matanya. Dirinya melihat Maya tersenyum ke arahnya. "Mbak sudah bangun? Sejak kapan?"

"Barusan."

Rendy membenarkan posisinya agar dapat duduk dengan nyaman. Rendy mengusap wajahnya yang masih mengantuk. Mungkin akibat semalam ia begadang.

"Kak. Makasih ya, kakak udah ngerawat Maya sampek aku sembuh. Terus kakak juga sampek begadang ngurusin Maya."

Rendy menatap Maya. "Sama-sama. Yang penting kamu bisa sembuh. Demi kamu, aku rela begadang."

Deg. Hati Maya berdegup kencang mendengar ucapan Rendy. Apakah Rendy sadar dengan ucapannya? Batinnya.

Setengah mengantuk, Rendy meletakkan kepalanya di paha Maya. Rendy menarik telapak tangan Maya lalu ia letakkan di kepala.

Maya langsung diam membeku. Hatinya sudah berdegup kencang seperti baru saja lari marathon. Ini pertama kalinya, Rendy melakukan ini padanya.

"Saya ingin tidur sebentar. Tolong kamu elus kepala saya!" pinta Rendy dengan suara lemas.

Dengan tangan bergetar, Maya mulai mengelus rambut Rendy dengan lembut.

"Dulu, waktu mama saya masih ada, saya selalu di elus seperti ini. Saat saya sakit, mama saya selalu rawat saya hingga begadang. Mama saya tidak peduli dengan dirinya sendiri. Waktu itu hujan lebat. Saya pulang dari sekolah, saya langsung demam. Di rumah lagi nggak ada obat. Pembantu juga lagi nggak ada di rumah. Mama nekad lari keluar rumah buat beliin saya obat." Rendy mulai mengutarakan isi hatinya.

"Semalem kamu sakit, saya jadi inget sama mama saya. Saya selalu merasa kesepian saat saya sendirian tanpa ada yang menemani."

Maya mendengar cerita Rendy. Ia menganggap, ini pertama kalinya Rendy mengeluh kesah padanya. Maya terus mengelus rambut Rendy. Hingga Maya merasakan pahanya basah. Maya melihat bahu Rendy yang bergetar. Maya yakin jika Rendy sedang menangis.

"Kak Rendy nggak perlu sedih." Maya membalikkan posisi Rendy agar dapat menatapnya. "Kak Rendy nggak sendirian kok. Ada aku yang akan selalu disamping kakak. Pasti sekarang, mama bahagia sama kak Rendy, karena kak Rendy berhasil jadi anak yang membanggakan. Kak Rendy nggak usah sedih lagi ya."

Maya mengusap air mata Rendy. Lalu dengan penuh keberanian, Maya mencium kening Rendy dengan lembut. Lalu melepaskannya sekira tangis Rendy mulai reda.

Tangannya menggenggam tangan Rendy. Rendy menatapa tangannya yang digenggam lalu menatap Maya.

"Mulai sekarang dan selamanya, aku akan terus menggenggam tangan kakak meskipun kakak melepaskannya."

Mata Rendy dan Maya sementara saling mengunci. Menikmati keheningan yang menyelimuti mereka. Mereka merasakan hembusan nafas yang menerpa wajah mereka.

Akhtar & Afifa [TAMAT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang