38

261 26 4
                                    


Hidupmu akan lebih baik jika kau tidak berusaha mengusik hati seseorang, berfikir jika kau sudah baik baik saja dengan dia bahagia itu lucu. Merelakan mereka bahagia dan membakar hatimu juga salah, apa salahnya berjuang untuk kesekian kalinya, jika semua itu bisa mencuri perhatiaannya walaupun hanya sedikit.










"Kak."

"Apa." Dewa berjalan mendekat pada adiknya, setahu Dewa, Gara tidak pernah memanggilnya sedekat ini.

Hanya sebutan KAK benar benar membuat pertahanan dingin Sadewa luntur dan menjadi kasih sayang yang begitu mendalam.

"Gue pindah sekolah ya." Minta Gara yang membuat kakaknya terdiam.

"Bukannya lo baru pindah dari sekolah lo itu tiga bulan yang lalu ya, belom lagi dikit lagi ada kenaikan kelas. Mana ada sekolah yang mau nerima siswa kelas tiga SMA baru, yang mau mendekati kelulusan." Gara ikut terdiam, benar juga.

Tapi dalam fikiran Gara dia masih benar benar malas, tidak ada satu pemikiran untuk kembali pada hal yang sudah berlalu.

Dan pasti, akan sangat sulit juga menjauh dari dunia gelapnya, dia tidak bisa pulang ke markas, Gara juga tidak bisa pulang ke rumah Aldi.

Rumah satu satunya sekarang hanya rumah yang sebenarnya, rumah pertama kalinya dia dilahirkan kedunia dan rumah yang mengakibatkan meninggalnya bunda yang melahirkan Gara.

"Bantuin gue kak, gue janji gak akan macem macem lagi. Gak akan nyentuh barang gak jelas lagi, gak akan nginep diluaran sana. Gue bener bener belum punya muka buat ngadepin Aldi, gue bingung mau minta maaf dari sisi mana. Ayah gue bener bener buat citra gue hancur dimana mana." Dewa menghela nafasnya berat.

Kenapa ayahnya benar benar mempunyai ide gila seperti ini, bukankah hal menjijikan akan melekat seutuhnya pada memory Gara. Dan dengan hal itu juga Gara bisa tidak percaya diri atau bahkan tidak ingin keluar dari kamarnya, seperti kemarin.

Tiga hari yang lalu, berkali kali mama Sadewa membujuk Gara agar keluar dari kamarnya atau sekedar sarapan bersama.

Dan dengan sangat marahnya, dia malah membanting teko berisi air putih diatas meja laci kecil sebelah ranjang kamarnya.

Sudah hampir setengah bulan juga Gara menolak berangkat sekolah karena dia merasa belum siap bertemu dengan Aldi.

Masa terpuruknya benar benar membuat Gara malu kembali ke masa lalu, dia masih punya malu yang sangat besar untuk kembali.

Dan Dewa Juga memaklumi itu, walaupun masalah Dewa belum selesai dengan Aldi bukankah hal seperti itu benar benar membuat adik kandungnya memiliki trauma mental.

Adik kandung berbeda rahim.

"Gimana kalo bilang ke ayah, gue yakin dia bakal nurutin apa yang lo mau selagi itu buat kebaikan lo. Dia yang ngerusak hubungan lo sama Nita dan semuanya, dia juga yang harus bertanggung jawab." Wajah Gara menjadi lesu, bukannya marah dia justru terlihat sangat malas meladeni ayahnya.

"Lo aja deh kak." Lirihnya lagi, Gara meremas jemari tangannya kasar. Dewa tahu jika adiknya belum bisa menerima keadaan yang membuatnya tertekan.

Dan lagi, Gara belum sepenuhnya sembuh, dia juga masih butuh sedikit pengawasan. Perkembangannya stabil, dan mungkin akan menjadi penyakit bawaan yang akan sering pusing dibagian kepala bagian depan.

"Bukanya lebih baik lo yang ngomong, dia pasti langsung--"

Ucapan Dewa terpotong saat Gara menegakan kepalanya bertumpu pada kepala ranjang, tiba tiba saja kepalanya seperti kebas, kesemutan dan hantaman begitu kuat pada kepalanya.

CDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang