39

271 17 3
                                    

Kau berharap bahagia? Ingatlah sedikit jika kau penjahat untuk orang disekitarmu, bagaimana orang sekotor dirimu mendapatkan kebersihan.















"Apa tuhan memberimu hidayah nak?" Gara berdecit, besok adalah hari pertamanya masuk sekolah.

Tentu saja dengan sekolah yang tidak sama dengan sekolah sebelumnya, dia akan dikirim oleh ayahnya SMA yang masih dengan yayasan yang sama.

Tidak memerlukan begitu banyak dana dan membuang uangnya untuk menyekolahkan anaknya.

"Terserah." Balas Gara yang tidak berusaha menanggapi apa yang ayahnya katakan.

Berapa kalipun Dewa berbicara pada ayah mereka, tidak akam pernah ayah mereka perdulikan, mungkin kata seseorang benar.

Yang pertama yang paling disayang yang akan menjadi hal menyenangkan yang tidak bisa terlupakan, bisa saja tidak bisa dilepaskan.

Sadewa lahir lebih dulu, tapi sayangnya Wigara lah yang mendapat kasih sayang dan perhatian penuh dari ayahnya.

Mungkin, Dewa hanya menjadi perantara kasih sayang, dan dia tidak benar benar mendapatkan kasih sayang itu sendiri.

Jika, Gara sadar mungkin dia bisa berdamai.

Sayang sekali.

Semua itu tidak akan terjadi, mama Dewa bukanlah bundanya, posisi bunda juga tidak akan bisa tergantikan.

Jika Dewa mungkin masih bisa diterima, tapi ibu kak Sadewa? Maaf, itu masih belum.

"Mintalah apapun pada ayah, dengan mulutmu. Maka akan ayah berikan apa saja yang kamu mau nak, kamu anakk ayah darah daging ayah. Darah keturunan ayah mengalir deras dalam tubuhmu."

Gara terdiam, dia menggigit bibir bagian dalamnya dengan sedikit keras.

"Apa bisa ayah kembalikan semua yang Gara punya? Kasih sayang bunda, keluarga yang utuh, keramaian rumah, keharmonisan? Enggak kan, jadi gak usah memberi harapan palsu. Semua sudah terjadi, dan Gara juga yang bisa menanggung semuanya." Ucapnya dengan nada dan nafas memburu.

"Semuanya berlalu dan gak bisa ayah perbaiki, buat apa ayah minta Gara sesuatu sedangkan ayah tahu apa yang Gara butuhin." Lanjutnya lagi, keadaan benar benar menghening.

Keduanya sama sekali tidak terdengar bernafas, keduanya menahannya. Rasa sakit keduanya masing masing mereka tahan, dan mungkin akan lebih buruk.

"Nak."

Tiba tiba saja kepala Gara kebas, telinganya seperti akan berdenyut nyaring digendang telinganya. Gara menahannya, dia tidak akan menunjukan rasa sakitnya pada siapapun.

Terlebih pada ayahnya, Gara mau ayahnya benar benar bisa menyadari kesalahannya. Itu yang Gara mau, bukankah kita harus menyadarkan seseorang dengan berkorban?

Lucu memang, tapi itu pasti akan membantu.

"Jadi jawaban ayah apa? Jangan buang buang waktu." Helaan nafas ayahnya terdengar tidak tega.

Dia sedikit tersenyum dan akan berjalan mendekati anaknya, namun dengan cepat juga Gara menangkis.

Dia berjalan menjauh dan kembali berkata.

"Katakan saja, iya atau tidak. Gara gak akan maksa, dan Gara juga bisa lakukuin apa yang Gara mau." Terlihat jika pria disebrang sana mengangguk menyetujui.

Percuma berbicara dengan anaknya hari ini, semuanya akan memburuk.

Yang pertama mode marahnya, dan yang kedua tentang masalalunya.

CDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang