62

126 18 4
                                    

Kesempatan ke dua.


"Darimana aja baru pulang?" Tanya Sadewa pada Wiga yang menenteng tasnya dengan seragam sekolah yang masih dikenakannya.

"Urusan pribadi." Jawab Wiga dengan singkat, memutar tubuhnya kembali berjalan untuk menaiki tangga.

"Jalan kaki? Ayah bilang lo pulangin supir jam dua siang dan handphone lo gak aktif sampe sekarang. Ada urusan sepenting apa sampe lo gak bisa aktifin handphone lo demi hal gak bermutu kaya gitu?" Wiga memutar bola matanya malas.

"Rumah sakit Om Dion, kenapa? Lo udah gak ada urusannya lagi sama gue kan, gue mau ke kamar. Ngantuk." Putus Wiga sepihak dengan berjalan cepat menaiki tangga mencegah Sadewa kembali bertanya dan memarahinya.

Apa salahnya. Ini waktunya, hati miliknya dan tubuh miliknya. Wiga sudah sangat hafal jika di sini Sadewa terlalu mempermasalahkam waktu.

Memutar bolak balikan fakta dan menyalahkannya, berbeda lagi jika dengan di Singapura. Wiga bebas disana, dan disini. Sadewa sudah seperti pemilik rumah ini dan melaporkan informasi apapun pada ayahnya seperti mata mata.

Munafik memang, dan oleh karena itu yang membuat Wiga masih terlalu malas dekat dengan siapapun.

"Udah tahu ngantuk dan capek, kenapa masih bisa pulang jam dua pagi?" Wiga membuang nafasnya dengan memijit kepalanya yang sedikit pening.

"Ini urusan gue, dan mau gue pulang atau enggak. Lo gak peru tahu!" Tekan Wiga dengan ucapannya, menutup pintu kamarnya dan tidak lupa menguncinya.

Satu kali lagi Wiga jelaskan, Sadewa bukan sebagai anak sambung lagi disini. Dia terlalu gila akan semuanya, munafik pada siapapun.

Bahkan sikap baiknya hanya didepan mama dan ayahnya. Semua orang juga pasti akan buta jika melihat perlakuan manis dari Sadewa seperti malaikatnya.

Tapi, itu sama sekali tidak berguna bagi Wiga. Satu kali Wiga katakan Sadewa munafik sampai matipun itu akan tetap sama.

Nyatanya?

"Gue tahu lo dari rumah Aldi." Ucap Sadewa didepan kamar Wiga dengan suara sedikit keras agar yang didalam bisa mendengar suatanya.

"Mau apa lo kesana lagi?"

"Ada rencana balik lagi ke sana dengan alasan yang sama?" Sadewa terkekeh pelan, dia sengaja bersuara keras saat ini karena dijam jam seperti ini semua orang sedang nyenyak nyenyaknya tertidur. Dan sadewa tidak perduli.

"Lo bodoh atau gimana, apa susahnya si jadi adik yang baik, patuhi apa yang ayah mau dan gak ngerepotin gue." Wiga mengeratkan tangannya sangat menahan emosinya saat ini.

Hatinya berencana ingin membuka pintu kamarnya dengan kasar, menatap nyalang Sadewa dan langsung menendang kepala Sadewa saat itu juga.

Sayang sekali, itu hanya lamunan.

"Kalo lo merasa direpoti, buat apa juga lo ngurusin hidup orang lain. Orang lain juga punya privasi, dia mau hidup normal tanpa tekanan. Enak kan hidup menekan orang lain? Sorry gue gak tahu rasanya menekan hidup orang lain, karena gue selalu jadi korban dihidup lo. Iya kan?" Balas Wiga dengan suara sedikit kesal, tangannya memutih menahan kesal saat ini.

CDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang