7. She know

172 17 2
                                    

" jangan nangis, kalo lo butuh gue jangan segan-segan manggil nama gue "

~ Randi ~

Seperti biasa Lara akan duduk bersama ibunya dengan suasana hening tanpa ada yang membuka percakapan. Lara sedari tadi melirik ke arah ibunya, dia bingung harus memulai percakapannya darimana.

" Maa " panggil Lara, ibunya langsung menghentikan makannya.

" Aku minta uang, hanya 200ribu saja " kata Lara menundukan kepalanya, ibunya itu langsung membanting sendoknya dengan keras.

" Kau tau aku bekerja siang dan malam hanya untuk makan mu saja. Sekarang kau minta uang sebesar itu untuk apa?" katanya dengan membentak, Lara meremas ujung kemejanya dengan kuat-kuat.

" Hanya ingin membeli peralatan sekolah " katanya berbohong, sebenarnya dia harus check-up untuk yang kedua kalinya. Tapi dia belum mendapatkan uang.

" Jangan mengada-ada, kau bisa memakai yang masih ada " kata ibunya mengakhiri makannya dan pergi ke kamarnya.

Lara terdiam menangis, berat rasanya dia hidup sekarang. Rasa sakit ini semakin menjadi, dia merasa sangat lemas dan beberapa kali batuk berdarah. Beberapa kali Dessy mengajaknya untuk check-up kembali, tapi dia selalu menolak dengan alasan tidak ingin menyusahkan Dessy.

Dia mengambil tasnya dan menutup pintu rumahnya. " Pagi " sapa Randi yang tiba-tiba sudah ada di depan rumahnya.

" Pagi " balas Lara singkat, dia tidak berniat melakukan apa pun saat ini.

" Lo habis nangis ya?" tanya Randi memperhatikan wajah Lara yang masih ada jejak air mata, gadis itu segera menghapus jejak air mata itu dengan kasar.

" Lo kenapa?" tanya Randi ulang, Lara hanya menggeleng dan melangkah pergi diikuti oleh Randi di belakangnya yang nampak berfikir dengan tingkah Lara belakangan ini.

" La, lo kenapa?" tanya Randi menghentikan langkah Lara, dia tidak tenang jika gadis itu hanya diam dengan tatapan kosong.

" Berangkat, gue gak mood " kata Lara menaiki mobil Randi, untuk pertama kali Randi membawa mobil dan Lara tidak menyadarinya. Padahal Randi ingin menunjukan mobil barunya, tapi sepertinya Lara tidak tertarik.

" Jangan nangis, kalo lo butuh gue jangan segan-segan manggil nama gue " kata Randi memegang tangan Lara, gadis itu hanya mengangguk saja lalu melepas tangan Randi darinya.

Dia merasa Randi tidak pantas bersanding dengannya, biar bagaimana pun cepat atau lambat Randi akan meninggalkannya.

*
*
*

Lara menenggelamkan wajahnya di sela-sela dekapan kakinya. Rasa pusing dikepalanya tidak hilang-hilang dan dadanya semakin sakit tidak tertahankan. Dia hanya bisa meneteskan air mata, menangis tanpa suara.

" Lo ada masalah?" tanya Arga yang selalu datang di saat Lara sedang terpuruk. Entahlah Arga seperti dewa penolong baginya.

" Ar, gue boleh pinjam uang lo gak?" tanya Lara menatap Arga, sepertinya dia tidak punya jalan lain. Sakitnya tidak tertahankan, karena obatnya sudah habis.

" Boleh, perlu berapa? Lo jangan sungkan-sungkan loh minta ke gue " kata Arga menatap Lara seakan menyelidik, sesusah apa gadis itu hingga meminjam uang kepadanya.

" 200ribu aja, gue janji kalo gue udah punya uang gue bakal kembaliin " kata Lara terbata-bata, dia sudah tidak tahan dengan sesak didadanya itu.

" Nih, lo bawa aja. Santai aja sama gue, kapan pun boleh lo kembaliin tanpa bunga " kata Arga tersenyum lebar, Lara menerima tiga lembar uang seratus ribuan.

" Ini kelebihan, Ar " kata Lara ingin mengembalikan lagi, tapi Arga menolaknya dan mengantonginya di saku Lara.

" Ambil, lo anggap itu rejeki yang turun dari tuhan. Jangan di tolak " kata Arga mengedikan bahunya, Lara ingin rasanya menangis karena masih ada yang begitu baik kepadanya.

Tapi mungkin setelah semua orang tau penyakitnya, dia tidak akan menerima perlakuan ini dari orang-orang yang selama ini ada untuknya.

Setelah menerima uang dari Arga, Lara pergi ke rumah sakit walau Arga beberapa kali memaksa ingin ikut. Dengan tegas Lara melarangnya, dan akhirnya Arga pasrah.

Dia memasuki ruangan yang membuatnya merasa kehilangan semangat hidupnya sekarang. Seperti waktu itu, dokter yang sama yang telah mendiagnosanya terkena HIV.

" Bagaimana dok?" tanya Lara setelah menjalani pemeriksaan.

" Orang tua mu sudah tau tentang penyakitmu ini? Saya tidak mau mengambil tindakan sebelum ada persetujuan orang tua mu " kata Dokter itu menatap Lara iba.

" Memang apa yang bisa dilakukan?" tanya Lara sudah sangat pasrah sekali, dia tidak mungkin jujur ibunya, yang ada dia mungkin akan diusir dari rumah.

" Dengan terapi ARV, setidaknya itu memperlambat perkembangan virus " kata dokter itu, Lara terdiam.

" Berapa biayanya?" tanya Lara pertama, karena sumber masalah utama yang dia punya hanyalah keuangan keluarganya.

" Mungkin puluhan juta, kami belum dapat menghitungnya karena ini tergantung seberapa banyak virus yang sudah menyebar " katanya, Lara hanya mengangguk lemas.

Puluhan juta ya?? Bahkan uang sepersen pun dia tidak punya. Miris.

Dia keluar dengan langkah gontai, pikirannya sungguh kalut sekali. Jika dia meminta uang sebesar itu pada ibunya, apa yang akan terjadi? Jika mencari kerja, tidak akan ada yang menerimanya hanya dengan lulusan SMA.

" Ohh jadi selama ini lo ikutan jadi pelacur " kata seseorang yang membuat Lara kaget dan menatap orang di depannya dengan wajah pucat pasi.

" Kisma? Lo ngapain disini?" tanya Lara dengan terbata-bata, Kisma hanya tersenyum menatap Lara.

" Gak nyangka ya gue, gak ibu gak anak sama aja, jadi pelacur. Sekarang lo kena HIV kan? Miris banget " kata Kisma tersenyum meremehkan, Lara menggeleng kuat.

" GAK, ini gak kayak yang..... "

Kisma langsung merebut kertas ditangan Lara yang berisikan formulir dan resep obat yang harus di tebus cewek itu.

" Cukup ini aja sebagai bukti dan tempat lo berada sekarang ini " kata Kisma sambil memfoto kertas-kertas itu dan Lara yang sedang berdiri di depan pintu ruangan yang memang hanya orang seperti Lara saja yang masuk.

Kisma membuang formulir itu dan berlalu pergi dengan tawa bahagianya, sedangkan Lara mulai menangis menatap formulir yang berjatuhan.

*
*
*

Voment guys :)

LARA [COMPLETE] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang