Prologue: A Love Triangle

663 30 2
                                    

Unfortunately, love didn't tell itself.


"Permisi, Kak." Jisung berjalan melewati kami sambil sedikit membungkuk. Ia tersenyum. Meski tak persis ke arahku, rasanya jadi aku yang bersemangat hari ini.

"Iya, silakan," jawab kami bersama-sama.

Setelah ia menjauh empat-lima langkah dari meja bundar yang kami tempati, Putri segera sumringah. Tanpa ia sadari, tangannya mencengkeram lengan kananku. Pun matanya membesar.

"Ji! Sumpah, ganteng banget, Ji!"

"Hahaha. Tahu, gue juga punya mata astaga."

"Lucu banget!" Putri masih sibuk dengan kehebohannya.

Aku melirik sedikit ke pelataran gedung. Jisung masih di sana. Ia berjalan membelakangi kami dengan langkah gegas. Mungkin ia menuju perpustakaan. Atau tempat parkir?

Wah, kenapa aku jadi penasaran? Astaga! Aku ini kenapa? Biasanya selalu tertarik dengan kakak tingkat. Tapi adik tingkat yang ini pesonanya beda.

Padahal dia cuma pakai jaket denim hitam dan celana jeans biasa. Dalamannya pun hanya kaus oblong putih sewarna dengan sepatu sneakers yang ia kenakan. Tapi ia terlihat begitu mewah di mataku.

Haha! Aneh.

"Jisung!" panggil Putri, merusak lamunanku. Gadis itu beranjak dari tempat ia duduk tadi.

Jisung berbalik. Ransel hitam di bahu kirinya tampak agak merosot.

"Ya?" jawab Jisung lembut. Ia sedikit memiringkan kepala, lalu tersenyum ke arah Putri dengan indahnya.

"Hati-hati!" Putri melambaikan tangannya.

Aku dan beberapa orang yang masih berkumpul di meja bundar pun bersorak-sorai. Ramai. Sedang Jisung di sana hanya tersipu. Ia sedikit menunduk, sebelum akhirnya mengangguk pamit dengan senyum malu-malu. Ia menatap Putri konstan.

Bukannya menjadi Putri itu menyenangkan? Ia bisa bicara dengan Jisung tanpa perlu malu-malu begitu. Ah, aku iri! Aku juga mau!

Lalu Jisung kembali melangkah. Samar-samar kulihat, ia mengeluarkan sebuah kunci dari saku jeans-nya. Sepertinya ia menuju parkiran motor.

Ketika ia berbelok ke lorong di sebelah kiri, aku hanya tinggal melihat jejak kepergiannya. Sedang Putri dan teman-temanku yang lain masih heboh karena sekeping momen tadi. Um, aku juga heboh sih. Tapi dalam hati saja. Sebisa mungkin harus kututupi perasaanku. Jangan sampai mereka tahu! Nanti aku malu!

Ah, lagipula kalau dalam novel, gadis pendiam lah yang akhirnya akan mendapatkan sang pangeran. Jadi, ayo kita jadi pendiam saja sampai akhir.

---

Satu minggu kemudian.

Aku hampir telat masuk kelas Pak Agih! Ah, sudah hampir tak ada harapan. Terlambat masuk ke kelasnya satu menit sama dengan absen satu kali pertemuan. Jadi aku hanya dapat berjalan gontai ke arah tangga di samping kantin. Sudah hilang hasrat untuk berupaya mengejar waktu.

Tiba-tiba, TIITT!

"Kak Ji, jangan ngelamuuuuunn!"

Oh, astaga! Itu Jisung. Dengan motor hitamnya, juga Putri di jok boncengannya. Mereka melesat, melewatiku, dengan Putri yang sibuk "dadah-dadah" ke arahku. 

Wah, jadi aku keduluan ya? Haha. Aku hanya dapat tersenyum miring pada diriku sendiri.

Aku menatap keduanya lagi, memastikan pemandangan pagi yang membuat perasaanku sulit terdeskripsi:

Jisung membantu Putri membuka helmnya.

Aku iri! Rasanya ingin sekali berteriak, "Jisung, sini biar gue aja yang bantuin Putri!"

Tapi tentu aku urungkan.

Sejenak, kulihat lagi keduanya. Ah, tatapan Jisung seperti penuh kehangatan. Seperti ada perasaan lebih yang meluap dari sana. Belum lagi bibirnya yang tak henti tersungging ke atas.

"Lo pagi-pagi udah ngintipin orang pacaran aja!" ujar Rina sambil menakol belakang kepalaku dengan telapak tangannya.

"Mereka pacaran?"

Rina mengangguk. "Dari tiga hari yang lalu."

Ah. Tuh, kan. Gadis pendiam memang selalu kehilangan kesempatan.


Entah bagaimana suatu kisah dapat berlanjut, dengan orang-orang berbeda, dengan aku yang lebih dewasa dibanding hari ini.

Seoul, 7 tahun setelah hari ini...

Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang