Kami memasuki pintu bernomor '127'. Ada seorang pemuda yang terbaring lemah di sana. Ia tampak ringkih dan...
familiar.
Oh, astaga.
Sekelebat. Saat lelaki itu menoleh ke arahku dan tersenyum. Sekelebat. Saat lelaki itu naik di atas motor hitamnya bersama Putri. Sekelebat. "Kak Ji!". Sekelebat. Saat ia membuka helm Putri. Sekelebat. Wajahnya yang tersipu malu.
Dia, apakah dia Park Jisung? Jisungku?
"D-Dokter Lee, siapa dia?"
"Bukankah aku sudah bilang? Dia pasienku, salah satu korban juga. Namanya Park Jisung. Ia sedang dalam kondisi koma."
"Berapa usianya?"
Aku hampir menitihkan air mata. Tapi aku masih berusaha keras menahannya.
"Umur internasionalnya 24," ucap Dokter Lee. Ia lalu menatapku intens. Memastikan mimik wajahku yang mungkin sudah berubah sepenuhnya.
Aku menggeleng. Air mata telah lolos dari mata kiriku.
"Tidak, Dokter Lee. Hari ini ia genap 25 tahun, usia internasional."
Dokter Lee mengernyitkan dahi. Menatapku bingung. "Huh? Kau kenal dia?"
Aku mengangguk. "Dia..."
pernah menjadi duniaku.
"Seorang adik tingkat di universitasku dulu."
Aku tersenyum getir.
"Oh, bingo!" Dokter Lee berseru. "Kau harus menjadi keluarga pasien. Karena anak ini sebatang kara."
Aku terkejut. Bukankah Jisung sering cerita tentang orang tuanya yang pindah tugas ke Bandung saat kami kuliah dulu? Bukankah ia punya ayah dan ibu yang lengkap? Ia bahkan memperkenalkan Putri pada ibunya.
"S-sebatang kara?" gumamku sambil menggeleng tak percaya.
Dokter Lee mengangguk. "Semua identitas pasien telah disiarkan di seluruh stasiun televisi. Tidak ada yang datang untuknya. Keluarga pasien lain telah datang. Di kartu pengenalnya juga hanya ada alamat di Mapo. Begitu kepolisian mendatangi alamatnya, hanya ada rumah kosong. Mungkin rumah lamanya."
Aku gemetar.
Dokter Lee masih menatap Jisung. "Satu-satunya harapan adalah dengan menunggunya bangun. Itu akan membuat semua menjadi jelas. Tapi, kau tahu kan, pasien koma itu akan lebih cepat siuman dengan dorongan dari energi orang-orang yang dicintainya."
Deg. Jantungku seolah berhenti berkerja. Aku harus menghubungi Putri! Ia mungkin dapat memberi Jisung kekuatan. Walau mereka sudah putus sejak 5 tahun lalu, tapi Putri pernah mengisi hidup Jisung. Gadis itu pernah menjadi alasan ia bersemangat. Pun alasan ia jatuh cinta. Aku harus meneleponnya!
The number you are calling...
"Ah, sial!" Aku hampir membanting ponselku. Untuk Dokter Lee sigap menahannya. Aku benar-benar gugup!
Sungguh. Jisung yang dulu mataharinya semua orang, kini harus terbaring begitu redup.
Aku benci Jisung yang seperti ini! Ia harus bangun.
The number you are calling...
"Kau telepon siapa sih?" Dokter Lee meninggikan suaranya.
"Putri."
"Ck." Dokter Lee tertawa remeh sambil membuang muka. "Soal wawancara? Sebegitu kau tidak percaya padaku?"
Aku menatapnya, agak sengit. "Ini hal lain. Putri juga mengenal Jisung! Dia harus tahu ini!"
Dokter Lee diam. Ia mundur beberapa langkah, hanya untuk melihatku berkali-kali mengetuki layar ponsel, mengarahkannya ke telinga, pun mengusak kepalaku. Mungkin seperti orang gila di mata Dokter Lee.
"Ah, kumohon!" seruku. Sekali lagi menghubungi nomor Putri. Aku mulai tersedu. Panik. Ia tak dapat dihubungi sama sekali.
Lagi. The number... Mengusak kepala lagi.
"Jinan-ssi. Hentikan"
Lagi. The number... Mengusak kepala lagi.
"Ya! Jinan-ssi!"
Lagi. The number you are calling...
"Jinan-ssi! Tenanglah!" Dokter Lee membentakku, sambil mengguncang kuat bahuku. Matanya terbuka sangat lebar. Agak mengerikan. Ini pertama kalinya aku melihat raut ini dari seorang Dokter Lee.
Aku diam. Seraya menatap ke dalam mata Dokter Lee tanpa berkedip sedikit pun, air mataku keluar lagi. Aku masih belum sadar sepenuhnya dari rasa frustasi.
"Hei, Jinan-ssi, tenanglah."
Air mataku semakin deras. Kini jatuh ke sneli Dokter Lee.
"A-aku takut."
"Tenanglah, Park Jisung akan baik-baik saja."
"T-tolong..." Napasku terengah. "Tolong jangan bilang pada Putri soal Jisung."
Aku menunduk. Sekujur tubuhku sudah lemah.
"A-aku tidak ingin Putri tahu. Aku mohon..."
Ji, kau egois sekali.
"Kau yakin?" tanya Dokter Lee.
Aku mengangguk. "Aku, aku sangat mencintainya, Dokter. Biarkan aku memilikinya meski tanpa ia tahu."
Aku mencengkeram kerah sneli Dokter Lee. Membenturkan kepalaku ke dadanya. Setengah frustasi. Separuh energiku habis untuk momen dan pengharapan tadi.
"To- tolong... Kumohon..."
Dokter Lee mengangguk. Lalu tersenyum sambil mengusak kepalaku. "Kau mencintainya?"
Aku diam. Enggan menjawab.
"Kau mencintainya sampai seegois itu?"
Oh, sungguhkan aku begitu? Aku diam.
"Jawab aku."
Aku akhirnya mengangguk kecil.
"Jaga dia, Jinan-ssi. Aku pamit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔
FanficTidak ada perasaan yang benar-benar platonis. Setidaknya, itu yang Dokter Lee ajarkan padaku dalam semalam suntuk.