Aku mengangguk. "Mereka... Kalau kau mau pernikahanmu selamanya, semua masa lalu kalian harus tuntas terlebih dulu. Seseorang mengatakannya padaku."
Dokter Wong mengangguk. "Saat aku memutuskan untuk melamar Putri, aku segera menyelesaikan semuanya dengan orang-orang dari masa laluku."
Aku tersenyum.
"Aku tidak sampai berpikir bahwa Putri juga pasti punya masa lalu. Bukankah aku bodoh?"
"Tidak. Uh, terima kasih karena sudah melakukannya, Dokter Wong. Percayalah padaku, Putri tidak akan pergi darimu. Ia akan kembali setelah ia selesai dengan Jisung."
Dokter Wong tertawa miris. "Bahkan asuransi pun takkan dapat menjamin itu, Jinan-ssi."
"Aku yang jamin!" seruku seketika, sambil beranjak dari tempatku baru saja singgah. "Aku akan membantumu agar Putri tidak meninggalkanmu!"
Dokter Lee tertawa remeh. "Jinan-ssi, kau rupanya superhero, ya?"
Aku menatapnya dengan alis menukik. "Aku serius."
"Membantu Putri menyelesaikan masalahnya dengan Jisung, membantu Jisung kembali ke mantan pacarnya, membantu Lucas agar Putri tak pergi darinya. Kau tak mau sekalian membantuku untuk putus dari pacarku?" ujar Dokter Lee ketus.
Aku menatapnya datar. "Kau aslinya orang yang baik dan ramah, Dokter Lee. Kau terbentur apa sampai jadi menyebalkan seperti ini?"
"Terbentur sifat platonismu barangkali."
Kami bertiga tertawa keras-keras. Dokter Wong sesekali memukuli bahuku ataupun meja Dokter Lee. Ia memang selalu refleks melakukannya jika sedang tertawa. Bahkan dengan perawat atau pasien sekalipun.
"Akan kubantu, Dokter Wong untuk mempertahankan Putri dan Dokter Lee untuk melepaskan Nancy. Akan kubantu kalian berdua," ujarku menyudahi tawa kami.
"Oh, sungguh?" tanya kedua dokter itu serempak. Keduanya sama-sama memastikan niatku.
"Ya, tapi bantu aku dulu sebagai uang muka."
"Huh?" Kedua dokter itu kompak sekali kebingungannya.
"Ingat?" Aku mengeluarkan alat perekam suara dari jaket denimku. Lalu memamerkannya ke depan kedua dokter yang masih terperangah. "Aku tetap butuh informasi lengkap mengenai kecelakaan Yongsan."
Aku menekan tombol merah pada alat perekam suaraku.
Sekilas, setelah bunyi 'klik', aku melihat Dokter Lee dan Dokter Wong tersenyum miring.
Oh, permintaanku sangat mudah? Jadi uang mukaku terlalu rendah?
---
"Ada tujuh belas pasien yang dilarikan kemari. Dua meninggal kemarin. Sembilan dirawat karena luka bakar yang luar biasa. Lima koma, termasuk dua orang yang juga mengalami luka bakar parah, tapi Park Jisung-ssi baru saja bangun. Jadi kita hitung saja ada empat. Sisanya dirawat jalan biasa. Mengalami trauma dan luka bakar sedikit. Dalam beberapa hari mereka bisa pulang," ujar Dokter Lee.
"Tujuh belas itu bukankah lebih dari setengahnya?"
"Ya, pemerintah memang menaruh semua pasien terdampak luka bakar kemari."
"Kenapa pemerintah memilih rumah sakit ini? Apakah ada syarat khusus dalam penentuan rumah sakit?"
"Ada banyak sekali faktor, Jinan-ssi. Mau kusebutkan semua?" tanya Dokter Wong.
"Silakan."
"Kau adalah wartawan NHK, setidaknya kau tahu pernah ada kebocoran nuklir Tokaimura di Ibaraki. Benar?" ujar Dokter Wong.
"Ya, di tahun 1997 dan 1999."
"Yang 1999. Ayahku ada di sana untuk meneliti dampak radiasi nuklir pada salah seorang korban yang sengaja dibiarkan hidup selama berbulan-bulan."
"Ah, Hisashi Ouchi? Astaga, kau membuatku merinding, Dokter," ujarku bergidik.
Dokter Wong mengangguk. "Ayahku ikut meneliti di sana. Segala kehilangan DNA dan sel darah putih, ayahku menyimpan datanya. Kau tahu, radiasi nuklir mungkin sangat berbeda dengan luka bakar biasa, tapi sejak saat itulah rumah sakit ini menjadi prioritas masyarakat Seoul yang bermasalah dengan luka bakar dan kanker."
"Ah, luar biasa sekali. Apa tujuan penelitian itu untuk berjaga-jaga soal ancaman nuklir juga?"
"Tentu. Ah, tapi ini bukan untuk publik. Kau tahu, kita bisa mendapat ancaman kapan saja, dari negara mana saja. Aku tidak mau menyebut negara persisnya, tapi aku yakin kau tahu betul apa maksudku."
"Baik. Kita kembali ke topik. Jadi karena adanya data soal nuklir tadi, rumah sakit ini menjadi yang terdepan dalam luka bakar dan kanker, begitu?"
"Oh, mungkin? Atau lebih tepatnya, karena Ayah mengonstruksi rumah sakit ini dengan pendekatan medis pada korban radiasi nuklir, kami jadi lebih siaga untuk menangani luka bakar parah. Mungkin pembahasannya akan kukerucutkan jadi luka bakar saja. Kanker dan kehilangan imun bukan bahasan yang cocok untuk Tragedi Yongsan," ujar Dokter Wong.
"Baik."
"Karena itu juga, mayoritas dokter yang bekerja di sini adalah dokter bedah plastik. Kupikir selain karena latar belakang tadi, kuantitas dan kualitas dokter bedah plastik di sini juga jadi pertimbangan pemerintah. Maksudku, dokter bedah plastik tak hanya menangani luka bakar, kan? Seringkali anggota tubuh korban rusak karena sebuah kecelakaan. Apalagi ini kecelakaan besar. Dokter bedah plastik juga menangani kerusakan-kerusakan semacam itu. Oh, ya, selain bedah plastik, yang paling banyak di sini adalah spesialis ortopedi," jelas Dokter Lee.
"Dokter bedah plastik dan ortopedi. Itulah sebab kenapa rumah sakit ini sangat tepat?"
"Juga, jarak, mungkin?" ujar Dokter Wong sambil manggut-manggut.
"Oh, wow. Bagaimana dengan Rumah Sakit Yongsan? Hanya enam orang yang dirawat di sana. Padahal itu rumah sakit terdekat dari tempat kejadian."
"Aku tidak tahu jelas bagaimana kondisi keenam pasien. Tapi, kau tahu seberapa banyak pasien flu dirawat di sana? Rumah sakit itu mungkin sedang sibuk dengan pasien-pasien flu. Kudengar enam pasien lainnya akan segera dioper ke rumah sakit lain dalam beberapa hari. Syaratnya, mereka bukan carier flu."
"Bagaimana dengan rumah sakit lainnya? Masing-masing hanya menerima 1-2 pasien dari pemerintah."
"Mereka banyak menangani pasien dengan dampak traumatis maupun koma. Seperti Jisung begitu. Hanya saja, Jisung punya luka bakar kecil di pinggang kanannya, jadi itulah kenapa dia dirawat di sini," ujar Dokter Lee.
"Jisung kenapa?" tanyaku panik.
"Astaga, hanya sebesar kue beras, Jinan-ssi," kata Dokter Wong jengah.
Aku menatap Dokter Lee.
"Kau boleh menjenguknya nanti," ujar Dokter Lee.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔
FanfictionTidak ada perasaan yang benar-benar platonis. Setidaknya, itu yang Dokter Lee ajarkan padaku dalam semalam suntuk.