Seoul, 7 tahun setelah hari itu...
"Permisi Dokter Na, apa kau melihat Dokter Wong hari ini?" Aku bertanya pada seorang dokter yang sibuk mencorat-coret sebuah kertas pada mejanya.
Dokter Na melirikku sedikit. Mengangkat sebelah alisnya. "Dia pergi ke Sungai Han, dengan yang dari Indonesia itu. Pacarnya."
Oh, Putri! Aku tersenyum sedikit, lalu menundukkan kepala. Izin pamit pada Dokter Na.
"Aku pemisi." Pintu kututup.
Aku berjalan di sepanjang lorong, sambil sesekali menekan tombol hijau pada ponselku. Mencoba terhubung pada Putri. Yang tentu, tak tersambung. Atau memang sengaja tak diangkat.
Ayolah, Putri pernah cerita ia ingin dilamar di tepi Sungai Han! Sudah pasti Dokter Wong tahu itu dan hendak melamarnya di sana. Bodoh saja jika ia harus menerima teleponku. Perempuan mana yang akan membuang kesempatan sekrusial itu, huh?
"Jinan-ssi, terlihat murung. Ada apa?" tegur seseorang sambil menyentuh bahuku beberapa kali.
"Ah, Dokter Lee." Aku memberinya salam lewat anggukan kepala. Ia membalasku, tentu dengan eyesmile indah di wajahnya.
"Mau ke mana?"
"Tadinya mencari kepala rumah sakit."
"Ada apa?"
"Um, meminta keterangan untuk ditulis. NHK butuh laporan lebih lanjut terkait korban kecelakaan beruntun Yongsan." Aku masih mengutak-atik ponsel. Berharap panggilanku tersambung pada Putri maupun Dokter Wong.
"Astaga, kau butuh laporan ini untuk NHK?"
Aku mengangguk.
"Kau mengagumkan. Orang Indonesia, bekerja untuk kantor berita Jepang, dan ditempatkan di Korea. Bukankah itu sulit?"
Aku melihat Dokter Lee sekilas, lalu kembali menatap layar ponselku. "Ya, tapi menghubungi seorang kepala rumah sakit yang sedang mabuk cinta lebih sulit lagi."
Dokter Lee tertawa, sambil membuang wajah. "Wawancara aku saja. Aku juga sama dengan Lucas. Aku tahu sangat banyak."
Aku menatap Dokter Lee ragu. "Aku butuh kepala rumah sakit."
"Dia akan pulang lama, Jinan-ssi. Percaya aku. Daripada kau dipecat NHK. Wawancara aku saja."
"Hahaha. Baiklah, kau yang memaksa."
"Aku yang menangani korban kecelakaan itu, Jinan-ssi. Tenang saja. Aku tidak akan mengecewakanmu."
Dokter Lee tersenyum. Oh, manis sekali! Kenapa lelaki seperti ini selalu saja ada yang punya, sih? Aku jadi harus bertingkah jutek, kan!
"Tapi..."
Aku menatapnya kesal. Tuh, kan. Ada 'tapi'-nya. Baru saja dipuji! Jangan-jangan ia ingin memberiku alibi agar dapat kabur.
"Tapi, aku harus memeriksa keadaan seorang pasien dulu. Dia di kamar 127. Kau mau tunggu aku di ruanganku?"
"Dokter Lee, aku akan ikut."
Dokter Lee terdiam.
"Memastikan kau tidak lari."
Dokter Lee tertawa, lalu melambaikan tangan. Memberiku kode untuk ikut dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔
FanfictionTidak ada perasaan yang benar-benar platonis. Setidaknya, itu yang Dokter Lee ajarkan padaku dalam semalam suntuk.