Aku berdiri di depan kamar 127. Beberapa kali mengambil napas. Ragu untuk masuk atau kembali ke rumah sewa. Aku tak ada masalah dengan Jisung, tapi di sana ada Dokter Lee.
"Saat ini aku hanya ingin bersamamu."
"Ck. Tuhan hukum aku." Aku memukuli kepalaku, berusaha menghapus kalimat aneh itu dari dalam pikiranku. "Tidak, tidak, Jinan tidak pernah mengatakannya. Kalau Dokter Lee tanya, bilang saja itu sedang mengingau. Y-ya. Ya! Benar. Mengigau."
Satu, aku menarik napas. Dua, aku membuangnya. Tiga, aku menatap lagi melalui jendela kecil. Mereka belum menyadariku. Empat, tangan bodohku bergerak, memutar gerendel dan membuat pintunya terbuka. Bodoh! Lima, aku menarik pintunya perlahan, berusaha menutup sebelum ada yang menyadariku.
"Kak Ji!" Jisung tersenyum lebar sambil melambaikan tangan padaku. Sedang Dokter Lee hanya menoleh tanpa ekspresi.
Haha. Terlambat, Jinan sayang.
"J-Jisung! Pagi!"
Aku memasuki ruangan itu tanpa menoleh sedikit pun pada Dokter Lee. Auranya menakutkan, sungguh. Bahkan keceriaan Jisung tak dapat menutupi aura horror Dokter Lee.
"Ah, kau kenapa baru ke sini sekarang? Kau sudah lupa denganku ya?"
Ah, dia bicara dalam bahasa Korea ya? Untuk menghargai Dokter Lee, kah?
"Mana mungkin aku lupa? Aku sedang mengerjakan laporan untuk kukirim ke NHK. Bagaimana keadaanmu, Jisung?"
"Sangat baik! Dokter Lee juga bilang kondisiku sudah stabil." Jisung melirik Dokter Lee. "Ah! Senior Jinan, benar kau yang membawa Yuna ke sini?"
Aku mengangguk canggung. "K-kau tahu dari mana?"
"Dari Yuna. Kau bersama Dokter Lee ya?"
"Y-ya..." Aku menoleh ke arah Dokter Lee. Ia tampak tak merespons Jisung sedikit pun. "Begitulah."
"Aku izin keluar dulu, masih ada beberapa catatan lab yang harus kukerjakan. Park Jisung-ssi, aku akan kembali untuk kontrol siang di jam 2 nanti. Istirahat yang cukup," ujar Dokter Lee pada Jisung. Ia lalu menganggukkan kepala padaku. Izin untuk pamit.
"Terima kasih Dokter Lee!" seru Jisung sebelum Dokter Lee keluar dari kamar 127. Dokter Lee sempat tersenyum tipis untuk menghargai keramahan Jisung.
Oh, dia menakutkan.
"Kenapa kalian kaku sekali? Apa sedang bertengkar?" tanya Jisung dengan raut bingung.
"Eh? Tidak kok."
"Benarkah?"
Aku mengangguk. "Lagipula kenapa juga kami bertengkar? Kami hanya rekan kerja saja. M-maksudku, mungkin, teman? Ya, kami teman."
"Huh?" Jisung tampak tak percaya. Ia menyipitkan mata, lalu seolah meneliti kebohongan di wajahku. "Yuna bilang kalian berpacaran. Jadi yang mana yang benar?"
"B-bagaimana?"
Shin Yuna-ssi...
---
Resepsionis rumah sakit bilang, Dokter Lee belum pulang sejak kemarin. Ia bahkan mandi di rumah sakit, dan tak terlihat sedetik pun mengunjungi pantri atau kantin. Aku jadi sedikit khawatir.
Jadi aku membelikan ia bubur dari kantin. Lalu mematung di depan ruangannya selama beberapa menit. Lewat jendela, aku dapat melihat seberapa banyak tumpukan kertas yang bertengger di atas mejanya. Juga, seberapa serius raut wajahnya itu.
Aku menghirup napas. Bersiap untuk penolakan. Atau setidaknya, bersiap untuk menetralisir degup jantungku.
"Dokter Lee." Aku mengetuk pintu ruangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Platonic Love Story [NCT Jeno] ✔✔
FanfictionTidak ada perasaan yang benar-benar platonis. Setidaknya, itu yang Dokter Lee ajarkan padaku dalam semalam suntuk.